Halo!

Pedang Ular Mas Chapter 19

Memuat...

Ia masih mengubar terus, tapi sekarang dengan perhatikan gerak-gerik gurunya itu. Ia sudah paham benar sekali semua gerakannya. Ia terus menaruh perhatian, akan setelah itu, ia pun menelad gerakan gurunya, hingga lantaslah terlihat, dia pun jadi gesit beberapa lipat.

Bok Jin Ceng senantiasa awasi sang murid, diam-diam dia manggut-manggut.

"Anak ini benar-benar bisa terima pelajaran," pikir dia.

Sin Cie perhebat pengejarannya, karena ia bisa bergerak terlebih sebat pula, akan tetapi didepan dia, gurunya pun bertambah-tambah gesit, hingga sia-sia saja pengejarannya. Hingga berdua mereka seperti merupakan bajangan saja.

Lagi sekian lama, mendadakan Bok Jin Ceng berlompat, akan tubruk muridnya, tubuh siapa ia angkat tinggi-tinggi.

"Murid yang baik, anak yang manis!" berkata dia sambil tertawa berkakakan.

"Suhu!" kata sang murid, yang girang luar biasa, karena sekarang ia insaf kemujijatan Tiang-kun Sip-toan-kim.

"Bagus, anak, sebegini sudah cukup untuk latihanmu!" kata sang guru. Ia turunkan tubuh Sin Cie, ia lepaskan cekalannya. "Sekarang kau ulangilah sendiri!" Sin Cie menurut, ia lantas jalankan Tiang-kun Sip-toan- kim.

Setelah mengawasi beberapa ulangan, Bok Jin Ceng masuk kedalam.

Sin Cie tidak turut gurunya beristirahat, ia masih berlatih terus, sampai belasan kali, hingga ia tambah mengerti kefaedahannya ilmu silat itu, yang berpokok pada kegesitan. Ia ada demikian kegirangan, hingga malam itu tak dapat ia tidur dengan nyenyak, terus ia bayangi itu ilmu pukulan, sampai mimpi pun ia masih berlatih....

Besoknya pagi, Baru saja fajar, bocah ini sudah bangun, untuk berlatih, karena ia kuatir pengajarannya kemarin nanti terlupa. Ia belajar seorang diri, dengan sungguh- sungguh.

Berselang belum lama, selagi bocah ini sangat bersemangat, ia dengar suara batuk-batuk dibelakangnya, apabila ia berpaling, ia lihat gurunya.

Bok Jin Ceng berada dibelakang muridnya, sambil tertawa.

"Suhu!" ia memanggil, terus ia berdiri diam, kedua tangannya dikasih turun.

"Kau telah mengerti dengan cepat, inilah bagus," berkata sang guru. "Tapi kau Baru mengerti bagian atas, bagian bawahnya belum, dibagian bawah, kau masih kosong, apabila kau hadapi lawan liehay, kau bakal celaka. Kau mesti bersikap begini. "

Guru itu lantas mengasi contoh. "Sekarang hayo kau turut!" Sin Cie menelad gurunya, ia mengerti dengan cepat, setelah mana, terus ia jakinkan ini ajaran baru, hingga ia kembali dapat tambah pengertian.

Selanjutnya, tidak pernah Sin Cie abaikan ajaran-ajaran gurunya. Sang tempo lewat dengan cepat, selang tiga tahun, bocah ini telah masuk usia dua-belas tahun. Ia berlatih dari kecil, sekarang tubuhnya jadi kuat sekali, pasek dan gesit.

Seperti biasanya, Bok Jin Ceng suka turun gunung, untuk pesiar, kalau ia pergi, ia pergi untuk dua atau tiga bulan. Setiap kali ia pergi, ia ajarkan muridnya pelbagai ilmu, apabila ia pulang, ia lantas menilik, untuk mengajarkan terlebih jauh. Ia puas mendapati muridnya belajar rajin sekali dan pesat kemajuannya.

Pada suatu harian Toan-ngo-ciat, sehabisnya minum arak Hiong-hong-ciu, dengan tiba-tiba saja Bok Jin Ceng keluarkan gambarnya Cousu-ya, ia memberi hormat sambil paykui, ia perintah Sin Cie turut menghormatinya sebagai dia. Kemudian dia kata pada muridnya: "Sin Cie, tahukah kau, apa sebabnya hari ini aku suruh kau menghormati Cousu-ya?"

Murid ini goyang kepala.

Bok Jin Ceng masuk kedalam kamarnya, akan keluar pula dengan satu peti kayu kecil tetapi pandang, yang ia letaki diatas meja, apabila ia telah buka tutup peti itu, nyata didalamnya terletak sebilah pedang yang sinarnya bergemirlapan menyilaukan mata. Pedang itu pandangnya tiga kaki.

Sin Cie terkaget! "Apa suhu hendak ajarkan pedang padaku?" tanya dia.

Sang guru manggut, ia jumput keluar pedang tajam itu. "Kau berlutut, dengar perkataanku," tiba-tiba kata dia, suaranya keras, sikapnya keren dengan mendadakan.

Tanpa banyak omong, murid itu tekuk kedua lututnya. "Pedang adalah rajanya ratusan macam alat-senjata,"

berkata Bok Jin Ceng, "pedang ada gegaman paling sukar

untuk dipelajarkan. Tapi kau ada berotak terang, kau pun berhati keras, aku percaya kau akan sanggup mempelajarinya. Ilmu pedang kaum kita, Hoa San Pay, yang diwariskan berulang-ulang, mengandal kepada si ahliwaris, tetapi buktinya sampai sebegitu jauh, senantiasa tambah saja kemajuannya. Dikalangan lain, ada umum sang guru tinggalkan satu ilmu pukulan yang dirahasiakan, karena ini, satu angkatan dengan satu angkatan, murid- muridnya tambah kurang kepandaiannya, tetapi kita, kita tidak berbuat demikian. Benar kita memilih murid dengan keras, tetapi setelah dipilih, kita berikan dia semua pelajaran, malah dibagian ilmu pedang, setiap achliwaris menambah kepandaiannya. Ilmu pedang kita sulit untuk dipelajarkan, hanya setekah mengerti, orang akan insaf itu dengan sempurna, dan asal orang bisa wariskan, dia sudah seperti tidak ada tandingannya. Sekarang aku hendak ajarkan kau ilmu pedang tapi kau mesti sumpah dahulu bahwa kau tidak nanti bunuh sekalipun satu orang yang tidak bersalah-dosa!"

Sin Cie jawab gurunya itu, ia kata : "Ini hari suhu ajarkan teecu ilmu pedang, apabila dibelakang hari aku binasakan seorang yang tidak bersalah, maka pasti aku pun bakal binasa terbunuh orang!"

"Bagus! Hayo bangun!"

Sin Cie berbangkit, untuk berdiri.

"Aku tahu kau berhati mulia, tidak nanti kau bunuh orang tanpa alasan," kata guru ini," akan tetapi saat ada

132 berlainan, ada saatnya untuk silat membedakan kebenaran dari kepalsuan, inilah yang harus dijaga. Asal kau senantiasa berpokok pada kejujuran dan belas-kasihan, aku percaya tidak nanti kau membunuh secara keliru. Maka hal ini mesti kau ingat baik-baik."

Sin Cie manggut, ia beri pula janjinya.

"Sekarang kau lihat," berkata sang guru akhirnya. Ia cekal pedang dengan tangan kanan, tangan kirinya diletaki diatas itu, habis itu ia mulai bersilat, hingga sinar pedang memain, me-nyambar- bagaikan naga dan ular, cahayanya seperti bianglala.

0o-d.w-o0

Sin Cie sudah ikuti Bok Jin Ceng tiga tahun, pandangan matanya telah jadi beda sekali, sekalipun demikian, sekarang tak bisa ia ikuti gerak tangan dan kakinya sang guru, sedangnya ia kagum, tiba-tiba guru itu berseru, pedangnya melesat kedepan, nancap dibongkotnya satu pohon besar.

Itulah tenaga yang besar luar biasa, karena mana, Sin Cie menjadi bengong dan nganga saja! "Bagus!" demikian satu suara pujian, yang datangnya dari arah belakang si bocah.

Selama tiga tahun berdiam diatas gunung, belum pernah Sin Cie dengar suara lain orang kecuali gurunya, atau hanya suara ah-ah-uh-uh dari si empeh gagu, sekarang mendadakan ia dengar satu suara asing - memangnya ia sedang tercengang - ia jadi heran sekali. Cepat luar biasa, ia menoleh kebelakang, hingga didepan matanya, ia tampak satu toojin atau imam yang bersenyum berseri-seri seraja usut-usut kumis dan jenggotnya.

133 Imam itu berjubah kuning, mukanya bersemu merah, rambutnya sudah putih semua. Habis memuji, ia berkata : "Sudah lebih dari sepuluh tahun aku tidak lihat kau gunai pedangmu, tidak disangka kau telah peroleh kemajuan begini rupa!"

Bok Jin Ceng telah menoleh pada tetamunya itu, ia tertawa berkakakan.

"Bhok Siang Tooyu, angin apa sudah tiup kau sampai disini?" tanya dia. "Sin Cie, hayo kau kasi hormat pada too- tiang!"

Sin Cie menurut, ia hampirkan itu imam akan berlutut dan manggut didepannya.

"Jangan, jangan!" tertawa si imam, seraya ia membungkuk, untuk angkat bangun bocah itu.

Sin Cie tidak mau diangkat, dan, sebagai biasanya orang yang mengerti silat, ia gunai tenaganya, maka itu, tidak gampang untuk si imam cegah pemberian hormat itu. Dia juga memang cuma mau mencoba saja.

"Lau Bok!" berkata ia kemudian, "selama beberapa tahun ini, jarang sekali aku bertemu dengan kau, tidak tahunya kau keram diri disini untuk mendidik muridmu ini. Sungguh, peruntunganmu tidak buruk, di saat-saat dari hari akhirmu, kau masih mendapatkan satu bahan yang baik sekali!"

Bok Jin Ceng girang atas pujian sahabat itu dengan siapa ia biasa berguyon.

"Aya!" Bhok Siang Toojin berseru sendirinya. "Hari ini aku tidak bawa uang, jadi dengan Cuma-cuma saja aku terima hormatmu ini, anak! Bagaimana sekarang?. " Mendengar kata-katanya si imam, hatinya Bok Jin Ceng tergerak, mendadakan, ia ingat suatu apa. Ia berpikir: "Imam setan tua ini ada punya kepandaian luar biasa, karenanya, kaum kangouw juluki ia Kwi-eng-cu si Bajangan Iblis. Coba dia suka wariskan salah satu pelajarannya kepada Sin Cie, alangkah baiknya! Hanya ia biasanya tak suka terima murid, maka perlu aku cari akal untuk ia keluarkan kepandaiannya itu. "

Segera juga guru ini kata pada muridnya : "Sin Cie, tootiang telah berikan janji hadiah bagimu, lekas kau memberi hormat dan haturkan terima kasihmu!"

Sin Cie benar-benar cerdik, dengan lantas ia dapat mengerti maksud gurunya, maka segera ia paykui pula, ia ucapkan terima kasihnya.

Bhok Siang Toojin tertawa terbahak-bahak. "Ya, bagus, bagus, bagus!" kata ia.

"He, bocah cilik, kau dengar aku, untuk jadi manusia, orang mesti jujur dan polos, maka jangan kau telad gurumu ini yang kulit mukanya sangat tebal! Masa, begitu dengar orang hendak memberikan barang, dia lantas ketok besi panas! Mustahil aku si tua-bangka nanti perdayakan kau satu bocah? Mustahil, bukan? Nah, begini saja, justru sekarang aku si tua-bangka lagi bergembira, aku berikan kau ini saja!"

Dari bebokongnya, dimana ada tergendol satu kantong, imam ini rogoh keluar segumpal barang, apabila Sin Cie buka itu, itu adalah baju kaos hitam, melainkan ia tak tahu, bahannya terbuat daripada sutera atau kulit. Tentu saja, ia terima hadiah barang itu dengan tergugu. "Eh, tooheng, jangan kau main-main!" Bok Jin Ceng kata pada sahabatnya itu, gangguan siapa tadi ia tak gubris. "Bagaimana kau dapat berikan dia mustika ini?"

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment