Pedang Keramat Chapter 17

NIC

“Sucouw,” kata Yang Giok dengan suara manja. “Liong-ko ini telah cukup membantuku, kalau tidak ada dia, tentu pedang ini telah terampas oleh pihak lain.” Kemudian ia menceritakan sepak terjang Nyo Liong dalam membelanya dan membela pedang Thian Hong Kiam, hingga hwesio itu mengangguk-angguk dengan sinar mata kagum.

“Akan tetapi, sucouw, antara Liong-ko dan teecu, terdapat perselisihan paham yang besar sekali. Menurut teecu yang hanya mentaati pendirian ayah, pedang ini sepatutnya diserahkan ke dalam tangan seorang calon kaisar pengganti kaisar yang telah lari itu, dan calon ini haruslah seorang yang benar-benar bijaksana dan patut menjadi seorang pemimpin besar. Teecu anggap bahwa pedang ini tidak pantas diserahkan kepada kaisar yang telah dikalahkan oleh pemberontak. Akan tetapi, Liong-ko, menganggap bahwa sudah seharusnya pedang ini diberikan kepada pemimpin pemberontak Oey Couw. Bahkan .... bahkan Liong-ko telah pula membantu pergerakan para pemberontak.” Setelah berkata sampai di sini, tak tertahan lagi Yang Giok menangis.

Tiba-tiba Kok Kong Hwesio tertawa bergelak-gelak. “ha,ha! Kau memang patut menjadi puteri Mo Kong! Kau sama-sama keras hati dan kukuh seperti ayahmu. He, Yang Giok, dengarlah! Pendirianmu itu keliru, dan seharusnya kau menurut kata-kata Nyo enghiong ini karena dialah yang benar!”

Seketika itu juga terhentilah tangis Yang Giok dan ia memandang kepada sucouwnya dengan mata terbelalak.

Hwesio itu mengangguk-angguk, “Yang Giok kau masih muda dan tidak dapat mengikuti kekuasaan alam yang sewaktu-waktu memang mengadakan perubahan terhadap keadaan dunia dengan tiba-tiba dan tidak terduga. Ketahuilah, memang pergerakan orang-orang she Oey itu patut dipuji dan itupun telah menjadi kehendak alam. Kalau tidak, bagaimana ia bisa menumbangkan kekuasaan kaisar? Pedang pusaka ini sudah semestinya berada dalam tangan orang yang memegang tampuk kekuasaan di kota raja, dan sekarang yang menjadi pemimpin besar adalah orang she Oey itu, maka dia seoranglah yang berhak memiliki Thian Hong Kiam.”

Yang Giok tak dapat berkata-kata hanya mendengarkan dengan hati tidak karuan. Akhirnya ternyata juga bahwa tunangannya yang betul. Ketika ia mengerling ke arah Nyo Liong, ia melihat pemuda itu justeru sedang memandang kepadanya sambil tersenyum, maka ia menjadi makin malu kepada diri sendiri.

“Nyo enghiong, sukakah kau memberitahukan siapa sebenarnya suhumu yang mulia? Barangkali saja pinceng kenal.”

Nyo Liong lalu menceritakan riwayatnya secara singkat dan ketika ia menyebut tentang kitab Pat-kwa Im Yang Coan-si, pendeta itu nampak terkejut dan kagum.

“Aya ...... kitab itu telah terjatuh ke dalam tanganmu? Ah, sicu, kalau begitu, benar-benar kau seorang pemuda yang berbahagia sekali. Ketahuilah, di zaman ayahku masih menjadi menteri, kitab itu telah menjadi perebutan di antara seluruh orang pandai di dunia ini, akan tetapi kitab itu secara tiba-tiba telah lenyap tak meninggalkan bekas hingga tak seorangpun dapat mewarisi kepandaian yang hebat itu. Sekarang ternyata dewata telah memperlihatkan keadilannya hingga kitab itu terjatuh ke tanganmu hingga dapat kaupergunakan untuk membela perjuangan rakyat.”

“Locianpwe, sebenarnya karena teecu hanya mempelajari dari kitab dan berkat petunjuk dari Li Lo Kun suhu, maka teecu hanyalah dapat memetik sedikit saja pelajaran dari kitab itu. Dan selanjutnya teecu masih mengharapkan banyak petunjuk dari Locianpwe.”

“Ha, ha, anak muda. Dalam hal kepandaian, di manakah batas-batasnya? Tahukah kau bahwa makin pandai seseorang, akan makin jelas terasa dan tampak olehnya betapa bodoh dia itu. Orang yang dapat mengetahui kebodohan dirinya sendiri, barulah pantas disebut orang pandai. Aku adalah seorang yang sudah tua dan dalam hal kepandaian silat, tentu aku tak dapat melawan yang muda-muda!”

“Sucouw,” kata Yang Giok, “dalam perjalanan teecu berdua telah bertemu dengan seorang tosu dari Bu-tong-san bernama Kim Kong Tojin yang hendak datang untuk mencari Liong-ko ke sini untuk diajak pibu.” Kemudian dengan panjang lebar Yang Giok menuturkan pengalaman mereka ketika bertemu dengan para perwira yang dibantu oleh Kim Kong Tojin dan hendak merampas pedang Thian Hong Kiam.

Mendengar itu Kok Kong Hwesio mengangguk-angguk dan tersenyum.

“Hm, Kim Kong Tojin memang seperti seorang anak kecil yang kukuh dan tidak mau kalah. Beberapa pekan yang lalu ia pernah ke sini dan bercakap-cakap dengan pinceng tentang keadaan kerajaan dewasa ini. Maksudnya hendak menarik tenagaku untuk membantu kaisar memukul kembali para pejuang tani dan merampas kembali kerajaan. Ia mengemukakan bahwa sebagai keturunan seorang menteri sudah sepatutnya kalau pinceng membela kaisar. Oleh karena kami mempunyai pendirian berlainan, maka segera terjadilah perdebatan antara kami dan dia agaknya pergi dengan marah. Tidak tahunya dia bertemu dengan Nyo sicu dan dapat dikalahkan. Ah, biarlah dia datang, hendak pinceng lihat sampai di mana ia berani berlaku kurang ajar. Nyo sicu, kau dan Yang Giok boleh berdiam di sini selama tiga hari sambil menanti kedatangan mereka itu, kemudian kau bersama Yang Giok harus mengantarkan pedang Thian Hong Kiam ke kota raja dan memberikan pusaka itu kepada Oey Couw dan sekalian membebaskan Liu Mo Kong muridku.”

Sebagai persiapan menghadapi rombongan Bu-tong-san yang hendak datang ke situ, Kok Kong Hwesio minta supaya Nyo Liong memperlihatkan kepandaiannya. Oleh karena maksud hwesio ini selain memiliki kepandaian tinggi juga mempunyai pandangan yang luas sekali, Nyo Liong tidak berlaku segan-segan lagi dan ia mulai bersilat. Mula-mula dengan tangan kosong, kemudian mempergunakan senjata pedang.

Kok Kong Hwesio merasa kagum sekali dan diam-diam dia memperhatikan untuk meneliti di mana adanya kelemahan-kelemahan dalam permainan anak muda itu. Setelah Nyo Liong selesai bersilat ia berkata,

“Nyo sicu, kepandaianmu sebenarnya sudah hebat sekali. Jarang aku melihat kepandaian yang lebih bagus dari pada ini dan benar-benar kitab Pat-kwa Im-yang Coan-si itu mengandung pelajaran yang luar biasa. Pinceng tidak sanggup melebihi kepandaian ini, hanya pinceng dapat memberi sedikit petunjuk untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang mungkin terjadi karena kurang pengalaman.”

Kemudian, dengan telaten sekali hwesio tua itu memberi petunjuk-petunjuk kepada Nyo Liong dan minta supaya pemuda itu mengulangi permainan silatnya pada bagian-bagian yang dianggap lemah. Kemudian mereka berdua bersama-sama memecahkan dan memperbaiki gerakan yang dianggap lemah itu hingga kepandaian Nyo Liong makin meningkat. Selain itu, juga Kok Kong Hwesio menurunkan beberapa jurus ilmu silatnya kepada pemuda itu hingga Nyo Liong menjadi girang sekali lalu menghaturkan terima kasih sambil berlutut.

Tiga hari kemudian, benar saja nampak Kim Kong Tojin beserta dua orang tosu lain naik ke puncak itu mengunjungi kuil Thian-hok-si. Kedatangan mereka disambut oleh Kok Kong Hwesio sendiri bersama Nyo Liong dan Yang Giok. Yang datang bersama Kim Kong Tojin adalah Kim Bok Tojin dan Kim Huo Tojin, keduanya adalah kakak seperguruan Kim Kong Tojin sendiri.

Setelah saling memberi hormat, Kim Kong Tojin berkata kepada Kok Kong Hwesio. “Kok Kong suhu, kedatangan kami ini tak lain selain hendak menengok kesehatanmu, juga kami ingin sekali menyaksikan kehebatan anak muda she Nyo yang menjadi tamumu ini, dan juga hendak minta kembali pedang Thian Hong Kiam yang dibawanya, karena pedang itu harus kembali kepada pemilik aslinya.”

Kok Kong Hwesio tersenyum. “Kim Kong Toyu, pinceng telah tahu akan maksudmu. Jika kau hendak mengajak pibu kepada Nyo sicu silakan, mataku yang tua agaknya memang bernasib baik sekali hingga akan dapat menyaksikan ilmu pedang Bu-tong-pai.” Dalam ucapannya yang halus ini, hwesio tua itu diam-diam telah mengeluarkan sindiran hingga Kim Kong Tojin memerah muka.

“Totiang, kalau kau masih kecewa dan hendak memberi pelajaran kepadaku, silahkan!” berkata Nyo Liong yang sebenarnya merupakan sebuah tantangan.

Mereka lalu menuju ke pelataran depan yang lebar dan sunyi.

Kim Kong Tojin telah mencabut keluar pedangnya dan tangan kirinya mengeluarkan sebatang cabang kecil dari pohon Liu.

“Eh, rupanya Kim Kong toyu hendak memperlihatkan kehebatan Bu-tong-Kiam-Tung-hwat, dan kabarnya ranting kecil itu lebih berbahaya dari pada pedangnya. Hebat, hebat!” kata Kok Kong Hwesio hingga diam-diam Kim Kong Tojin merasa mendongkol sekali karena kata-kata ini secara tidak langsung merupakan peringatan kepada Nyo Liong bahwa pemuda itu harus berhati-hati terhadap ranting kecil dari pohon Liu yang kelihatannya tidak berarti itu..

“Kalau tamu mudamu merasa jerih, boleh juga tuan rumahnya mewakili,” kata Kim Kong Tojin kepada Kok Kong Hwesio secara menyindir, akan tetapi yang disindir hanya tersenyum saja dan berkata kepada Nyo Liong.

“Nyo sicu, apakah benar-benar kau jerih menghadapi jago dari Bu-tong-pai ini?”

Sebagai jawaban, Nyo Liong mencabut Thian Hong Kiam dari pinggangnya dan menghadapi Kim Kong Tojin sambil menyilangkan pedangnya di atas dada.

Posting Komentar