Nyo Liong menyimpan pedang Thian Hong Kiam dan menghela napas lega. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia melihat betapa Yang Giok agaknya tidak senang melihat kemenangannya, karena gadis itu berdiri memandangnya dengan sinar mata dingin.
“Eh, moi-moi kau kenapa?” tanya Nyo Liong sambil menghampiri Yang Giok.
“Kau .... benarkah kau seorang anggauta pemberontak?” tanya gadis itu dengan suara lemah.
Nyo Liong memandang tajam. “Bukan menjadi anggauta, akan tetapi aku memang selalu membantu perjuangan mereka karena kuanggap perjuangan mereka itu suci dan baik.”
“Kalau begitu kau anggap Oey Couw itu patut menjadi kaisar?” tanya Yang Giok kecewa.
“Aku tidak mengerti tentang itu, dan aku tidak perduli siapa yang akan menjadi kaisar, asalkan pemerintah dapat menjalankan tugas secara bijaksana dan dapat memperhatikan nasib rakyat kecil tidak seperti kaisar yang lalu. Aku kenal baik kepada Oey Couw dan aku anggap dia seorang pemimpin besar yang patut dihargai.”
Yang Giok makin marah. “Kau tidak tahu betapa kejamnya barisan pemberontak yang menyerbu ke kota raja. Banyak Pangeran dan pembesar mereka bunuh sampai habis sekeluarganya. Dan kau .. kau yang kuanggap seorang perkasa dan orang baik, ternyata .... menjadi pembantu mereka!”
“Yang Giok, jangan kau menuduh yang bukan-bukan?!” kata Nyo Liong, “tentang pembunuhan itu, mungkin karena memang pembesar yang dibunuh itu dulu berlaku sewenang-wenang dan kejahatannya telah menimbulkan kebencian hebat, dan mungkin juga bahwa di antara anggauta barisan petani terdapat orang-orang yang kejam dan jahat, karena tidak semua orang baik, juga tidak semua orang jahat belaka. Akan tetapi, yang kumusuhi adalah peraturan yang dijalankan oleh pemerintah kaisar Tang yang demikian lalim dan hanya tahu mencari kesenangan sendiri saja. Perjuangan pemberontak kaum tani adalah suci dan baik!”
“Jadi pedang Thian Hong Kiam itu patut berada di tangan Oey Couw?” tanya Yang Giok marah.
“Dulu pernah kukatakan pada pertemuan kita yang pertama kali bahwa pedang ini memang pantas berada di tangannya.”
Yang Giok membanting-banting kakinya dengan gemas. “Kalau begitu, apakah kau hendak memberikan pedang itu kepadanya sebagai persembahan untuk mencari pahala?”
Melihat betapa kemarahan gadis yang berhati keras itu memuncak, Nyo Liong menjadi sabar kembali dan ia memperlihatkan senyumnya. “Moi-moi mengapa kau menjadi marah benar. Jangan begitu, adikku. Aku tidak berhak atas pedang ini. Ingat bahwa kaulah yang membawa pedang ini dan aku hanyalah mengawani kau pergi ke sini. Bagiku, pedang ini tidak banyak artinya, baik dipegang oleh siapapun. Kau lebih berharga seribu kali dari pedang ini!”
Di dalam hatinya, Yang Giok sebenarnya merasa girang mendengar pernyataan ini, akan tetapi ia tetap merasa kecewa karena tunangannya yang sangat dibanggakannya itu ternyata anggauta pemberontak. Sebagai seorang gadis bangsawan betapapun juga sebutan pemberontak yang menghancurkan kota raja menimbulkan pandangan rendah dalam hatinya. Maka, ia tak dapat lagi menahan kecewa dan marahnya, lalu ia menangis sambil membanting-banting kaki. “Kau ..... kau pemberontak .... alangkah akan sedihnya hati ayah ....” Padahal yang bersedih adalah hatinya sendiri, dan pada saat itu ia sama sekali tidak perduli apa kata ayahnya tentang hal ini.
“Sudahlah, moi-moi, jangan kau sedihkan hal yang tak berarti ini. Sekarang marilah kita pergi ke kuil Thian-hok-si dan menanyakan pikiran sucouwmu.”
Mendengar ucapan ini, Yang Giok menahan tangisnya dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu menuju ke tempat kudanya. Nyo Liong yang dapat meraba isi hati tunangannya yang kecewa itu, juga tidak mau banyak bicara karena ia maklum bahwa pada saat hati Yang Giok masih panas, percakapan hanya akan membuat gadis keras hati ini menjadi makin marah.
Kelenteng Thian-hok-si adalah sebuah kelenteng tua yang masih kokoh kuat karena dibangun dari kayu-kayu gunung yang keras dan kuat serta mempunyai tiang yang besar. Ukiran-ukiran dan lukisan-lukisan yang terdapat di sekitar dinding kelenteng itu telah luntur warnanya akan tetapi masih dapat dikagumi keindahan dan mutu seninya.
Di pegunungan Go-bi-san memang banyak terdapat lereng-lereng dan puncak bukit yang indah pemandangannya dan yang mempunyai kuil-kuil besar dan indah. Banyak pula di antara kuil-kuil itu yang telah bobrok dan roboh. Oleh karena banyaknya tempat-tempat indh di daerah pegunungan Go-bi-san, maka banyak pula pertapa-pertapa yang datang ke tempat itu. Di antara para pertapa ini banyak terdapat orang-orang sakti dan berilmu tinggi, maka pegunungan Go-bi terkenal sebagai tempat yang menghasilkan banyak anak murid yang pandai. Oleh karena banyaknya guru-guru yang pandai dan yang datang dari berbagai tempat, maka cabang persilatan Go-bi banyak sekali macamnya.
Di antara pertapa-pertapa yang bertapa di situ, terdapat seorang hwesio yang berkepandaian tinggi dan yang menuntut penghidupan suci. Dia ini adalah Kok Kong Hwesio yang memilih kuil Thian-hok-si sebagai tempat pertapaannya. Kok Kong Hwesio ini sebenarnya adalah putera seorang menteri di zaman Raja Hauan Tsung yang melarikan diri ke Go-bi-san ketika pemberontakan Tartar yang bernama An Lu San memukul kerajaan. Dan menteri ini lalu mengasingkan diri dan bertapa di pegunungan itu. Puteranya, yakni Kok Kong, menjadi murid seorang pandai di Go-bi dan sampai tua Kok Kong menuntut penghidupan sebagai seorang pendeta yang menganut agama Buddha.
Kok Kong hwesio tak pernah menerima murid, kecuali Pangeran Liu Mo Kong, karena ia melihat betapa Pangeran ini berjiwa bersih dan jujur. Ketika pada waktu mudanya, Pangeran Liu berkelana meluaskan pengetahuan, maka ia bertemu dengan Kok Kong Hwesio dan menjadi muridnya.
Dengan hati sedih, pendeta yang berketurunan bangsawan pula ini melihat betapa kerajaan dipegang oleh kaisar yang lalim dan hatinya hancur melihat kemelaratan dan kesengsaraan rakyat jelata. Akan tetapi apakah dayanya? Sebagai seorang suci yang tidak suka mencampuri urusan dunia, ia hanya memuja saja kepada para dewata agar keadaan yang buruk itu akan berubah menjadi baik. Akhirnya terjadilah pemberontakan kaum tani yang berhasil, dan diam-diam Kok Kong Hwesio berdoa sambil menghaturkan terima kasih serta mengharapkan perubahan yang baik terhadap nasib seluruh umat manusia, terutama golongan rakyat kecil yang selalu hidup di tingkat terendah dan terpijak.
Diam-diam pendeta tua inipun memikirkan keadaan muridnya yang menjadi Pangeran dan memegang jabatan sebagai kepala bagian perbendaharaan. Ia maklum bahwa muridnya berjiwa bersih dan tidak ikut menjadi pemeras rakyat, maka ia maklum pula bahwa muridnya itu tentu akan mengambil tindakan bijaksana dalam peristiwa pemberontakan itu. Ingin sekali ia mendengar tentang nasib muridnya sekeluarga.
Oleh karena itu, ketika seorang hwesio kecil yang menjadi murid dan pelayannya memberitahu bahwa di luar datang dua orang tamu muda, seorang pemuda dan seorang gadis, yang katanya datang dari kota raja dan membawa berita dari Pangeran Liu, ia menjadi girang sekali dan mempersilakan mereka itu datang menghadap.
Nyo Liong dan Yang Giok memasuki ruang dalam dan mereka segera berlutut di depan pendeta tua yang duduk bersila di atas bangku bundar yang bertilamkan bantal terisi daun-daun kering.
“Sucouw, teecu Liu Yang Giok datang menghadap,” kata Yang Giok.
Kok Kong Hwesio memandang gadis itu dengan matanya yang lebar dan tajam. Ia dapat menduga bahwa gadis ini tentulah puteri muridnya, maka ia berkata,
“Anak, bagaimanakah kabar ayahmu? Dan siapakah kawanmu ini? Coba seritakan semua yang jelas!”
Yang Giok lalu menuturkan dengan singkat dan jelas tanpa merahasiakan sesuatu kepada orang suci itu, bahkan ia memberitahu pula bahwa Nyo Liong adalah pemuda tunangannya yang mengantarnya sampai ke Go-bi-san.
Sebagai penutup penuturannya, gadis itu berkata, “Sucouw, karena teecu merasa bingung dan selalu dikejar oleh pihak-pihak yang menghendaki pedang Thian Hong Kiam, maka akhirnya teecu mengambil keputusan untuk menyerahkan pedang ini kepada Sucouw dan minta nasehat selanjutnya.” Sambil berkata demikian, Yang Giok menyerahkan pedang itu kepada sucouwnya.
Akan tetapi, Kok Kong Hwesio tidak mau menerima pedang itu dan berkata, “Yang Giok, mengapa pedang itu kau berikan kepadaku? Pinceng sudah mencuci tangan dari pada segala urusan dunia, bagaimana pinceng hendak diserahi pedang ini? Yang Giok, mengapa kau sendiri tidak bisa memilih orang yang patut diserahi pedang ini? Kulihat kawanmu itu bukanlah seorang yang lemah, mengapa dia tidak mau membantumu?”
Nyo Liong terkejut, karena baru melihat negitu saja, orang tua ini dapat mengetahui bahwa ia memiliki kepandaian.