Kakek ini terengah-engah, memeluk anaknya erat-erat dan di lain saat ia telah menghembuskan napas terakhir dalam pelukan anaknya. Rupa-rupanya karena selama bertahun-tahun menderita sengsara dan mempertahankan diri untuk hidup karena ingin bertemu kembali dengan anaknya, setelah sekarang bertemu, kegirangan luar biasa menyebabkan kakek ini tidak kuat menahan dan jantungnya menjadi pecah mendatangkan kematiannya,
“Ayah .... Ayah. !” Ci Ying meraung-raung, akan tetapi hanya sebentar saja ia
menangis. Tiba-tiba ia terdiam dan meletakkan tubuh ayahnya di atas tanah. Kemudian bangkit berdiri, memutar tubuh dan sepasang matanya yang aneh itu menyapu-nyapu semua orang di situ. “Ayah, kau telah dibikin buta, disiksa, dibunuh
.... lihat, lihat baik-baik ayah. Anakmu akan membasmi mereka!”
Tubuhnya mencelat ke tengah pertempuran, sambil mengeluarkan pekik menyeramkan. Hebat sepak terjangnya. Sekali mengulurkan tangan ia menyerang dua orang tukang pukul. Dua orang itu dengan penuh kengerian mengangkat senjata mereka, seorang membacok dengan golok dan yang kedua mengemplang dengan toya besi.
Akan tetapi Ci Ying tidak mempedulikan serangan ini. Tangan kirinya menyampok golok yang segera terpental patah dan toya yang mengemplang pundaknya tidak ditangkis, akan tetapi terpental ketika mengenai pundak. Di lain saat kedua tangannya sudah menyambar, tepat dua orang itu kena dicengkeram lehernya dan sekali remas terdengar suara keras dan tulang leher dua orang itu patah-patah. Tubuh mereka
terkulai tak bernyawa lagi.
Sambil mengeluarkan lagi pekik mengerikan, Ci Ying melemparkan dua mayat itu ke arah tukang pukul-tukang pukul yang lain. Hebatnya, lemparan ini mengandung tenaga luar biasa kuatnya sehingga sekali gus dua orang tukang pukul dan seorang budak yang kena tertumbuk dua mayat itu terjungkal tak dapat bangun lagi.
Kembali dia melompat maju dan menangkap dua orang tukang pukul yang sekali gus ia bunuh dalam cengkeraman kedua tangannya yang lihai. Terdengar suara keras dan ternyata sekarang sebuah lengan tangan dari masing-masing tukang pukul telah .....
putus terlepas dari pundak karena dibetot oleh Ci Ying. Dengan dua buah lengan ini ia lalu mengamuk ke kanan kiri dan dalam sekejap mata saja roboh enam orang tukang pukul lagi yang mengeroyok Ong Hui yang sudah kepayahan.
Melihat Wang Sin didesak oleh hwesio tinggi besar, Ci Ying melemparkan dua buah lengan itu ke arah pertempuran. Terdengar suara angin bersiut dan Wang Sin cepat mengelak sambil menangkis dengan tangan kiri. Alangkah terkejutnya ketika ia merasa lengan tangan kirinya itu menjadi sakit dan linu sekali. Bukan main, bagaimana Ci Ying bisa memiliki tenaga demikian hebat dan kepandaian demikian lihai?
“Ci Ying. !” Ia berseru girang, kaget dan ngeri.
“Hi, hi, hi Wang Sin. Serahkan saja anjing budak bangkotan ini kepadaku!”
Adapun Thouw Tan Hwesio yang juga menangkis lengan itu dengan toyanya, merasa pula betapa telapak tangannya pedas. Ia kaget sekali dan jerih, akan tetapi serangan Ci Ying sudah tiba secara mendadak sehingga terpaksa ia melayani wanita aneh ini. Tahu-tahu Ci Ying sudah menggunakan senjata yang istimewa, yaitu sehelai sabuk merah yang bergerak-gerak lemas bagaikan ular, akan tetapi jangan dipandang ringan sabuk sutera ini karena setiap ujung sabuk tidak kurang ganasnya dari pada seekor ular beracun. Sabuk ini digerakkan dengan tenaga lweekang yang mujijat, di samping dapat menotok urat-urat kematian, juga sabuk ini telah direndam racun yang hebat dan berbahaya sehingga andaikata pukulan sabuk dapat ditahan oleh ahli lweekang, namun pengaruh racun tetap saja merupakan ancaman maut.
Melihat dua ujung sabuk itu dengan ganasnya menyambar ke arah kepala dan dadanya, Thouw Tan Hwesio kaget sekali dan cepat ia memutar toyanya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Akan tetapi kali ini ia bertemu tandingan. Toyanya adalah senjata yang keras dan kaku, mana bisa mempengaruhi senjata sabuk sutera yang lemas.
Di lain saat toyanya sudah dilibat dan begitu Ci Ying membetot, hampir saja toya itu terlepas dari tangannya. Dalam kekagetannya, Thouw Tan Hwesio mengeluarkan seruan keras dan kedua kakinya secara bertubi-tubi mengirim tendangan, sedangkan keringat dingin membasahi mukanya.
Ci Ying mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil menarik sabuknya dan mengelak ke belakang, kemudian ujung sabuknya kembali menyambar untuk menyambut kaki yang menendang, Thouw Tan Hwesio cepat-cepat menahan tendangannya. Celakalah kalau sampai kakinya kena terlibat.
Segera keduanya mengeluarkan kepandaian masing-masing dan bertempur seru, akan tetapi selalu hwesio itu berada di pihak terdesak oleh permainan sabuk yang amat aneh dan ganas sekali itu. Melihat ini, Wang Sin timbul kegembiraannya, dan cepat ia melompat dan menggerakkan pedangnya membantu Ci Ying.
Melihat majunya pemuda ini Thouw Tan Hwesio menjadi khawatir sekali. Ia memutar toyanya dan tiba-tiba mulutnya kemak-kemik dan di lain saat ia berseru dengan suara keras dan amat berpengaruh. “Rebahlah kalian!”
Hebat sekali suara Thouw Tan Hwesio ini. Dia adalah seorang ahli hoat-sut (sihir) yang merupakan ilmu hitam dan yang biasanya dipergunakan para pendeta Lama untuk mempengaruhi dan menakut-nakuti para budak. Seruan itu adalah semacam ilmu sihir yang pengaruhnya merampas semangat orang, membuat orang menurut akan kehendak yang menjalankan ilmu ini.
Wang Sin ketika mendengar seruan ini, tanpa dapat ditahan lagi lalu terhuyung dan hampir roboh. Andaikata dia hanya menghadapi hwesio itu seorang diri, tentu dalam keadaan seperti itu ia akan dapat diserang dan mengalami kecelakaan. Akan tetapi, alangkah heran dan terkejutnya hati Thow Tan Hwesio ketika melihat Ci Ying tertawa terkekeh-kekeh menghadapi serangannya dengan ilmu hitam tadi.
“Hi, hi, hi, anjing tua bangkotan, jangan membadut di depanku!” Dan Ci Ying terus menyerang sambil berkata kepada Wang Sin. “Wang Sin, mundurlah. Biarkan aku merampas kepala anjing gundul ini.” Wang Sin tidak berani maju lagi. Ia menoleh dan melihat isterinya masih mengamuk dan dikeroyok lagi oleh beberapa orang hwesio dan tukang pukul, ia melompat dan membantu isterinya. Semangat suami isteri ini bangkit kembali melihat datangnya bantuan Ci Ying yang lihai.
Mereka tidak menghiraukan luka-luka mereka dan dalam beberapa jurus telah merobohkan pula empat orang hwesio murid Thouw Tan Hwesio. Para budak juga terus menyerbu, malah sekarang sudah mulai memasuki ruangan sebelah dalam gedung keluarga tuan tanah Yang Can.
Tuan tanah Yang Can ketika melihat keadaan yang amat berbahaya itu, telah mempersiapkan kuda dan berlari dari pintu belakang. Tuan tanah yang pengecut ini tidak memperdulikan lagi nasib keluarganya. Dengan sepuluh orang tukang pukul sebagai pelindung, ia melompat ke atas kuda dan melarikan diri.
“Tuan tanah keparat lari!” teriak Wang Sin. “Tahan dia jangan sampai lolos!”
Besama-sama isterinya, ia meninggalkan pengeroyok-pengeroyoknya dan mengejar. Akan tetapi sepuluh orang tukang pukul menghalangi mereka dan kuda yang ditunggangi oleh Yang Can sudah mulai kabur.
Tiba-tiba kuda itu meringkik dan roboh, membawa tuan tanah itu roboh bersama. Ternyata sebuah pisau belati telah dilontarkan oleh Ci Ying dan tepat menancap di leher kuda itu. Melihat tuan tanah yang dibencinya itu hendak lari, Ci Ying mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa. Sebuah ujung sabuknya menotok pergelangan tangan kiri Thouw Tan Hwesio membuat hwesio itu memekik kesakitan dan melepaskan toya, akan tetapi tangan kanan yang memegang toya masih digerakkan, mengayun toya ke arah leher Ci Ying.
Anehnya, Ci Ying sama sekali tidak mengelak, menerima saja gebukan ini. Benar- benar hebat gadis ini. Toya yang menghantam lehernya terpental dan sebelum Thouw Tan Hwesio hilang kagetnya, lengan kanannya sudah kena dicengkeram sampai patah tulangnya. Ia menjerit dan terhuyung mundur, akan tetapi tidak sempat mengelak ketika ujung sabuk merah menyambar dan melilit lehernya.
Hwesio tinggi besar ini kaget sekali. Tangan kanannya sudah patah dan tidak dapat digerakkan. Dengan tangan kiri ia merenggut sabuk yang melibat leher, ditarik- tariknya sekuat tenaga namun sia-sia. Sabuk itu membalut leher makin erat, ia terhuyung dan roboh, namun bagaikan ular hidup sabuk merah itu membelit terus sampai akhirnya kedua matanya melotot dan lidahnya keluar. Ia menghembuskan napasnya dalam keadaan mengerikan setelah kaki tangannya berkelonjotan.
Sambil tertawa mengerikan Ci Ying melompat dan mengejar Yang Can. Tuan tanah ini ketika roboh dari kuda, dengan ketakutan merangkak-rangkak hendak melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba lehernya ditangkap orang dan tubuhnya diangkat ke atas.
Sekelebatan ia melihat wajah Ci Ying yang cantik akan tetapi dengan sinar mata yang membuat rambut kepalanya sampai berdiri saking takutnya. Sinar mata itu bukan sinar mata manusia lagi, melainkan sinar mata iblis yang haus darah. Ia memekik- mekik sampai lehernya kering dan tidak ada suara lagi keluar dari lehernya ketika Ci Ying menyeretnya ke depan mayat Ci Leng.
Pada saat itu, semua budak di dusun Loka ternyata sudah ikut berontak dan menyerbu rumah tiga orang tuan tanah yang lain. Tidak terdapat banyak perlawanan pada tuan tanah yang lain itu karena semua pendeta Lama mementingkan tuan tanah Yang Can untuk mereka lindungi.
Tuan-tuan tanah yang lain itu siang-siang sudah melarikan diri, meninggalkan rumah dan harta benda mereka. Kini para budak sudah menggabungkan diri dengan budak- budak tuan tanah Yang Can sehingga kekuatan mereka benar-benar tak dapat dibendung oleh para tukang pukul yang biasanya galak-galak dan kejam-kejam.