Halo!

Nona Berbunga Hijau Chapter 17

Memuat...

Wang Sin membawa kepalan tangan kirinya ke muka untuk menghapus dua butir air matanya sendiri. “Bagus, mari kita serbu tuan tanah Yang Can dan kaki tangannya!”

Demikianlah, dipimpin oleh Wang Sin dan Ong Hui, mereka ini merupakan sepasukan orang-orang yang nekad, yang pada saat itu hanya mengenal satu tekad : Membasmi Tuan Tanah atau Mati!

Sementara itu, Yang Can sudah bersiap sedia. Ia terkejut setengah mati ketika melihat kaki tangannya berlari-lari mendatangi dengan muka pucat melaporkan segala kejadian. Hampir ia tidak dapat percaya ketika mendengar laporan bahwa Thiat-tung Hwesio juga sudah tewas di tangan Wang Sin. Thiat-tung Hwesio amat gagah, bagaimana bisa tewas di tangan pemuda hina itu?

“Lekas beritahukan Thouw Tan Losuhu dan panggil semua pendeta lama untuk membantu!” teriaknya dengan muka pucat.

Thouw Tan Hwesio, Lama jubah kuning yang bertubuh tinggi besar, tokoh pertama di dusun Loka dan dianggap sebagai manusia dewa, menjadi marah bukan main mendengar bahwa Wang Sin datang membuat ribut. Apalagi ketika mendengar betapa Wang Sin sudah membunuh Thiat-tung Hwesio, kemarahannya memuncak.

“Bocah ingusan itu berani membunuh seorang pendeta di sini? Biarkan dia datang, lihat akan pinto patahkan lehernya!”

Ucapan hwesio ini sombong sekali, akan tetapi tidak aneh kalau dia menyombong. Thouw Tan Hwesio bukanlah orang sembarangan. Dia menjadi kepala pendeta di kuil Loka adalah karena pengangkatan dari kuil pusat di Lasha. Dan sudah tidak asing lagi, bahwa pendeta yang datang dari Lasha tentulah orang gemblengan yang memiliki kepandaian tinggi, baik dalam bidang ilmu silat maupun ilmu kebatinan dan agama.

Tentu saja mendengar tentang diri Wang Sin, dia memandang rendah. Apa sih kelihaian seorang pemuda yang baru menekuni ilmu selama lima tahun. Biarpun dididik oleh orang sakti, tidak mungkin akan dapat melawannya. Apalagi di situ terkumpul banyak murid-muridnya dan kaki tangan tuan tanah yang rata-rata juga memiliki kepandaian silat.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati tuan tanah Yang Can ketika ia mendengar bahwa Wang Sin dan isterinya orang Han itu kini menyerbu ke dusunnya diikuti oleh seratus lebih budak-budak yang kini telah memberontak. Dari kaget ia menjadi marah bukan main. Saking marahnya tuan tanah ini merenggut topi dari kepalanya, dan membanting-banting topinya di atas tanah.

“Setan jahanam! Keparat Laknat! Bunuh budak Wang Sin itu bersama siluman wanita yang dibawanya. Tangkap semua budak dan beri rangketan lima puluh kali setiap orang, jangan beri makan sampai tiga hari!” Kemudian ia menghadap Thouw Tan Hwesio sambil berkata. “Losuhu, tolonglah kami, harap jangan biarkan orang-orang hina itu menginjak-injak kehormatan kita.”

Thouw Tan Hwesio yang sedang menghadapi meja, sedang dijamu hidangan- hidangan lezat dan arak wangi, tertawa bergelak sampai tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak-gerak. “Ha-ha-ha, jangan khawatir jangan khawatir. Sekali pinceng

menggerakkan tongkat, akan remuk batok kepala orang berdosa Wang Sin itu. Dua kali pinceng menggerakkan tongkat, siluman perempuan itu takkan dapat bernyawa lagi!”

Baru saja ia berkata demikian, di luar terdengar sorak sorai ramai di susul pekik yang riuh rendah. Para budak yang dipimpin Wang Sin dan Ong Hui telah tiba di situ dan sudah mulai “perang” melawan antek-antek tuan tanah.

Tentu saja para budak yang tidak bisa ilmu silat itu bukan tandingan para anjing tuan tanah, akan tetapi mereka berjumlah banyak, bersemangat tinggi dan sudah nekat.

Apalagi di situ terdapat Wang Sin dan Ong Hui yang mengamuk bagaikan dua ekor naga sakti. Pedang suami isteri ini berkelebatan dan sukar ditahan. Karena para kaki tangan tuan tanah yang hanya berjumlah tiga puluh orang itu mulai terdesak mundur.

Beberapa orang di antara mereka sudah roboh oleh pedang Wang Sin dan Ong Hui, atau roboh oleh serbuan para budak yang sudah nekat dan tidak takut mati itu. Tentu saja di pihak para pemberontak sudah banyak pula yang roboh dikemplang toya atau dibacok golok.

Pertempuran makin hebat, para pemberontak makin mendesak dan mulai mendekati gedung besar tempat tinggal tuan tanah Yang Can. Keadaan amat mengancam bagi keselamatan keluarga tuan tanah itu.

Pada saat keadaan sedang ramai-ramainya, tiba-tiba dari samping gedung itu berlari seorang kakek yang terbungkuk-bungkuk dan tangannya meraba-raba ke depan. Ia nampak bingung dan mulutnya keluar kata-kata penuh gairah.

“Wang Sin pulang, Wang Sin pulang. mana anakku Ci Ying?” Lalu ia berlari ke

depan, tersandung jatuh, berdiri lagi dan berteriak-teriak. Ci Ying......! Ci Ying. !

Kesinilah kau. !”

Semua orang yang sedang bertempur, baik dari pihak para budak maupun pihak tuan tanah, tidak memperhatikan atau memperdulikan orang ini. Akan tetapi ketika Wang Sin mendengar suara ini, ia cepat menengok sambil melompat mundur dari kepungan lawan. Bukan main kaget dan terharunya ketika melihat bahwa orang itu adalah ayah Ci Ying.

“Paman Ci Leng. !” serunya sambil menubruk maju melihat orang tua itu lagi-lagi

tersandung dan terguling roboh sehingga ia masih sempat memeluknya.

Wang Sin merasa kasihan sekali. Bagaimana kakek ini sekarang menjadi begini rusak tubuhnya dan buta matanya? Ci Leng memeluk Wang Sin sambil meraba-raba pundak dan muka orang muda itu, mulutnya tertawa lebar. “Wang Sin ..... ah, kau benar Wang Sin. aku mendengar

kau datang bersama seorang wanita cantik, tentu dia Ci Ying. mana dia?”

Tertikam hati Wang Sin mendengar ini. Tidak boleh disalahkan orang tua ini. Memang tentu saja semua orang pun mengharapkan dia kembali bersama Ci Ying, karena bukankah dia dahulunya melarikan diri bersama gadis itu?

“Bukan paman, bukan Ci Ying. ” katanya lemah.

Naik sedu sedan putus asa di kerongkongan kakek itu.

“Bukan Ci Ying.....? Habis siapa dia..... dan mana Ci Ying. ?”

Belum sempat Wang Sin menjawab, terdengar bentakan nyaring, “Budak hina, kau berani kembali mengantarkan nyawa?”

Wang Sin kaget mendengar sambaran angin yang amat kuat. Cepat ia mengayun pedangnya ke belakang sambil melompat meninggalkan Ci Leng. “Traangggg. !”

Tangannya tergetar dan ia kaget melihat tongkat di tangan penyerangnya tidak patah seperti tongkat-tongkat lain ketika bertemu dengan pedang pusakanya. Ketika ia memandang, ternyata bahwa penyerangnya itu bukan lain adalah Thouw Tan Hwesio, si pendeta jubah kuning yang dulu amat ia takuti.

“Pendeta keparat, aku kembali untuk membasmi setan-setan macam-macam engkau!” seru Wang Sin yang cepat melakukan serangan. Di lain saat kedua orang ini sudah bertempur hebat dan segera Wang Sin mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian pendeta kepala ini benar-benar hebat dan masih jauh di atas tingkat kepandaiannya sendiri. Ketika ia melirik dan melihat isterinya pun didesak oleh tujuh orang pendeta murid Thouw Tan Hwesio, diam-diam ia mengeluh.

Sementara itu, para budak masih terus menerjang maju, berkelahi dan bergumul melawan kaki tangan tuan tanah. Pekik kemarahan dan jerit kesakitan bercampur aduk membuat keadaan di situ makin kacau dan mengerikan. Yang Can sendiri bersama keluarganya sudah sejak tadi menyembunyikan diri di dalam gedung.

Ci Leng yang tidak dapat melihat lagi, ketika mendengar bahwa anaknya tidak ikut Wang Sin datang, menangis tersedu-sedu dan menjadi putus harapan.

Lima tahun ia menguatkan diri, menahan segala macam siksaan, dipukuil, dihina, dicokel matanya, akan tetapi ia masih hidup karena memang ia ingin hidup, ingin anaknya datang kembali menolong dan membalaskan dendam untuknya. Benar saja Wang Sin kembali dan melakukan pembalasan, akan tetapi Ci Ying, anaknya, calon isterinya Wang Sin, kenapa tidak datang? Itu tentu hanya satu artinya, yaitu Ci Ying anaknya itu sudah mati.

“Ci Ying......! Ci Ying. !” Kakek buta ini menangis. Seorang tukang pukul yang kebetulan berada di dekat situ, melihat Ci Leng menjadi meluap kemarahannya. Inilah orangnya yang menjadi biang keladi sampai sekarang Wang Sin datang menggerakkan semua budak untuk memberontak.

“Anjing buta, mampuslah dulu kau!” serunya sambil mengayun golok membacok ke arah leher Ci Leng. Orang tua ini maklum bahwa dia yang dimaki dan hendak diserang, akan tetapi ia sudah tidak mempunyai nafsu untuk hidup, maka tanpa takut sedikitpun ia menanti datangnya maut.

Pada saat golok itu hampir menyentuh leher Ci Leng, terdengar jerit melengking yang amat tinggi dan nyaring, jerit yang membuat semua orang merasakan bulu tengkuknya berdiri. Malah hebatnya, jerit ini membuat banyak orang menggigil karena mengandung pengaruh yang mujijat. Bahkan Wang Sin dan Ong Hui sendiri sampai melompat mundur ketika merasakan goncangan hebat dalam dada mereka mendengar jerit itu.

Lebih hebat lagi, terdengar suara “krakk!” dan tukang pukul yang tadi menyerang Ci Leng, telah terlempar dengan kepala remuk. Di lain saat orang-orang melihat Ci Leng telah dipeluk oleh seorang perempuan cantik yang menangis dan mendekap kepala orang buta itu ke dadanya.

“Ayah...... ayah. !” wanita itu menangis sambil mengeluh.

“Ci Ying. ” Wang Sin terbelalak dan girang, akan tetapi ia harus cepat mengelak

karena kembali Thouw Tan Hwesio sudah menyerangnya. Juga Ong Hui sudah dikeroyok lagi. Nyonya muda ini sudah lelah sekali dan pundaknya sudah terpukul toya, maka geraknya amat lambat dan ia terancam bahaya besar. Keadaan Wang Sin tidak lebih baik, ia didesak habis-habisan oleh Thouw Tan Hwesio yang lihai.

“Ci Ying datang .....! Ci Ying datang !” Para budak meningkat semangat bertempur

mereka melihat kedatangan Ci Ying. Mereka mengamuk terus biarpun sudah banyak di antara mereka yang tewas.

Ketika pertempuran sudah berlangsung lagi hebat dari pada tadi, kini tak seorangpun dapat memperhatikan Ci Ying. Gadis ini masih seperti dulu, lima tahun yang lalu, masih cantik manis. Hanya pakaiannya yang kini sudah berganti seperti pakaian wanita Han. Rambutnya digelung tinggi, membuat wajahnya makin manis dipandang.

Senyumnya yang dulu masih membayang di bibirnya dan pipinya masih tetap kemerahan dihias lesung pipit di sebelah kiri. Akan tetapi kalau orang melihat sepasang matanya, ia akan menjadi kaget sekali. Mata ini luar biasa sekali, tajam dan mempunyai sinar yang aneh, malah menyeramkan.

Ci Leng menggerak-gerakkan pelupuk matanya yang buta dan dari mata yang sudah bolong itu mengalir air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum. “Ci Ying anakku

....., syukurlah kau masih hidup. ”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment