"Apakah engkau hendak pergi pula meninggalkan aku?"
Di dalam suaranya terkandung ancaman maut.
Bi Li menggeleng kepala, menyusut air matanya.
"Pergi kemana? Suamiku telah mati"
Tidak, aku tidak akan pergi dari sini, kecuali pergi keakhirat. Tidak adalagi yang kuharapkan."
Mendengar jawaban ini, Sian Eng mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh mendirikan bulu roma. Kwi Lan mengerutkan keningnya, akan tetapi ketika melirik kearah Bi Li, ia melihat wanita itu memandang kepadanya dan tahulah ia bahwa Bi Li diam-diam amat mengharapkan agar kelak dapat bertemu dengan puteranya yang bernama Hauw Lam. Dan gadis ini, biarpun tidak mendengar kata-kata keluar dari mulut Bi Li, dapat menduga, bahkan berjanji dalam hatinya bahwa kelak ia akan bantu mencari putera yang hilang itu.
Semenjak terjadi peristiwa itu, Kwi Lan belajar makin tekun dan giat karena ia maklum bahwa ilmu kepandaian tinggi merupakan modal terutama baginya untuk kelak mencari orang tuanya dan untuk membantu Bi Li mencari puteranya yang bernama Tang Hauw Lam. Dan semenjak terjadinya peristiwa itulah nama Kam Sian Eng dikenal didunia kang-ouw sebagai seorang tokoh yang aneh dan luar biasa, serta memiliki ilmu kesaktian yang dahsyat pula. Hal ini menyebabkan semua orang menjauhkan diri dari hutan itu, yang dianggap sebagai hutan iblis dan tak seorangpun berani memasukinya.
Lima tahun kemudian, seorang gadis berusia sembilan belas tahun berjalan seorang diri dikaki Gunung Lu-liang-san, disebelah barat kota Tai-goan. Gadis remaja ini cantik sekali dan amat manis. Bentuk mukanya lonjong, dagunya meruncing dengan kulit muka yang halus dan putih seperti susu, dihias warna merah jambu dikedua pipinya, warna merah karena sehat. Mulutnya kecil dengan bibir selalu tersenyum, bibir merah membasah dan segar. Rambutnya agak awut-awutan, tidak di sisir rapi, namun menambah keluwesan dan keayuannya. Tubuhnya sedang dan ramping, agak kurus akan tetapi dengan lekuk-lengkung tubuh yang menonjolkan kewanitaannya. Pakaiannya berwarna merah muda, dengan ikat pinggang merah tua. Sebatang pedang tergantung dipinggangnya dan gagang pedang ini dihias sebuah mutiara yang besar, mutiara berwarna hitam berkilauan. Gadis jelita ini bukan lain adalah Kam Kwi Lan. Sudah setengah tahun ia merantau meninggalkan hutan iblis. Setengah tahun yang lalu, bibinya, juga gurunya, Kam Sian Eng telah pergi bersama Suma Kiat.
"Aku pergi bersama Suhengmu. Kau tidak boleh ikut, Kwi Lan. Akan tetapi kalau engkau mau pergi merantau, terserah. Engkau sudah cukup dewasa dan kuat untuk menjaga diri."
Demikian pesan Sian Eng secara singkat. Adapun Suma Kiat tersenyum-senyum, agaknya hendak menggoda sumoinya itu yang tidak boleh ikut pergi. Memang, biarpun usianya sudah dua puluh tahun, Suma Kiat yang kini juga memiliki ilmu ke pandaian tinggi itu kadang-kadang sikapnya seperti kanak-kanak saja.
"Bibi, saya hanya minta agar sebelum Bibi pergi, Bibi suka memberi sedikit keterangan kepadaku."
Sian Eng tersenyum di balik kerudung hitamnya.
"Keterangan tentang Ayah"bundamu, bukan?"
Kwi Lan terkejut dan melirik ke arah Bi Li yang juga berdiri di situ dan yang menjadi kaget pula.
"Hemm, jangan kira bahwa aku tidak tahu akan persekutuan kalian beberapa tahun yang lalu"
Enci Bi Li, suamimu telah mati, anakmu hilang. Kalau dia memang anak berbakti, tentu dia akan datang mencarimu kelak. Kwi Lan, kalau kau hendak mencari Ibumu, pergilah ke Khitan. Ibumu adalah adik angkatku, yaitu Ratu Yalina di Khitan. Tentang Ayahmu.. hi-hik, kau tanya saja kepada Ibumu yang manis itu"
Demikianlah, setelah Sian Eng bersama Suma Kiat pergi, Kwi Lan lalu pergi pula meninggalkan hutan di mana ia hidup selama delapan belas tahun. Ia menasihati Bi Li agar tinggal di dalam istana bawah tanah saja, menanti kembalinya mereka dari perantauan. Ia berjanji akan mencari keterangan di dunia luar tentang Tang Hauw Lam.
Dengan kawan pedang pusaka pemberian bibinya, Kwi Lan melakukan perjalanan seorang diri. Tujuan perjalanannya tentu saja di Khitan di sebelah utara. Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa, melakukan perjalanan seenaknya. Hal ini bukan saja karena ia memang hendak menikmati keadaan kota dan dusun yang dilaluinya, juga terutama sekali karena hatinya merasaamat kecewa ketika mendengar keterangan gurunya bahwa dia sebetulnya anak Ratu Khitan "Anak ratu"
Akan tetapi ratunya bangsa Khitan yang dianggap sebagai bangsa yang setengah liar di utara. Dan kalau dia benar anak ratu, mengapa sampai diberikan kepada gurunya? Kalau benar ibunya itu, Ratu Khitan, adalah adik angkat gurunya, tentu dia telah diberikan kepada bibi itu untuk dilatih ilmu silat. Alangkah tega hati ibu kandungnya itu. Berarti tidak sayang kepadanya. Karena pikiran inilah maka Kwi Lan tidak sangat bernafsu untuk bertemu dengan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan.
Pada pagi hari yang cerah itu, Kwi Lan berjalan dikaki Bukit Lu-liang-san, menikmati keindahan alam yang mandi cahaya matahari pagi. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara orang bertanding disebelah depan. Hatinya tertarik dan ia mempercepat langkahnya. Ketika tiba disebuah belokan, ia melihat dua orang tengah bertanding hebat. Yang seorang bersenjata pedang, yang kedua bersenjata tongkat butut. Disekeliling tempat pertandingan itu, berdiri pula beberapa orang dengan tegak dan penuh perhatian menonton jalannya pertandingan. Melihat betapa dua orang yang bertanding, juga mereka yang berdiri menonton, semua berpakaian pengemis, teringatlah Kwi Lan akan peristiwa dihutan iblis pada lima tahun yang lalu.
Yang bersenjata tongkat butut adalah seorang kakek pengemis berpakaian butut dan disitu masih ada tiga orang temannya yang kurus-kurus dan tua berdiri menonton. Adapun lawannya, yang berpedang, adalah seorang pengemis pakaian bersih, sedangkan agaknya empat orang yang berdiri menonton disebelah kiri adalah teman-temannya, sungguhpun hanya dua diantara mereka yang berpakaian pengemis baju bersih. Pertandingan itu cukup seru dan dari gerakan mereka tahulah Kwi Lan bahwa mereka yang bertanding itu memiliki kepandaian cukup tinggi dan tentu bukan anggauta biasa dari perkumpulan mereka, melainkan tokoh-tokoh yang berkedudukan cukup tinggi. Maka ia memandang penuh perhatian sambil mendekati dengan langkah perlahan.
"Ssssttt.."
Kwi Lan terkejut dan berdongak. Ternyata yang berdesis itu adalah seorang pemuda yang duduk ongkang-ongkang diatas dahan pohon sambil menghadap ke arah pertandingan. Pemuda itu kini menoleh kepadanya dan menaruh telunjuk kedepan mulut. Melihat wajah pemuda itu yang berseri, tidak hanya mulutnya, bahkan hidung dan matanya ikut tersenyum ramah, sekaligus timbul rasa suka dihati Kwi Lan. Mata pemuda itu bersinar terang dan gembira, jelas tampak bahwa dia seorang periang yang lucu dan juga nakal.
"Kalau mau nonton, disini paling enak, jelas aman dan tidak usah bayar"
Bisik pemuda itu dan terkejutlah KwiLan. Pemuda itu hanya berbisik-bisik, akan tetapi suaranya jelas sekali terdengar olehnya, seperti didekat telinganya.
Tahulah ia bahwa pemuda yang periang ini bukan hanya seorang pemuda berandalan biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah menguasai Ilmu Coan-im-pekli (Mengirim Suara Seratus Mil). Kalau saja pemuda itu tidak memiliki wajah tampan yang begitu jenaka seperti wajah seorang anak kecil yang nakal, tentu Kwi Lan akan ragu-ragu bahkan marah. Namun jelas baginya bahwa pemuda itu nakal dan polos, tidak bermaksud kurang ajar. Hal ini dapat ia lihat dari sinar matanya. Selama setengah tahun merantau dan bertemu banyak laki-laki, Kwi Lan sudah dapat membedakan pandang mata laki-laki yang tertarik akan kecantikan wajah dan bentuk tubuhnya, pandang mata mengandung berahi yang kurang ajar.
Sengaja Kwi Lan mengerahkan ginkangnya sehingga ketika ujung kedua kakinya menggenjot tanah, tubuhnya melayang naik seperti seekor burung kenari terbang melayang dan hinggap di atas cabang di dekat pemuda itu, duduk ongkang-ongkang seperti si pemuda tanpa sedikit pun membuat cabang itu bergoyang. Akan tetapi Kwi Lan kecelik kalau ia memancing kekaguman pemuda itu, karena si pemuda menoleh kepadanya seperti tidak ada apa-apa saja, seakan-akan gerakannya yang indah dan ringan itu tadi sudah sewajarnya. Setelah menoleh dan memandang wajah Kwi Lan sejenak, pemuda itu tersenyum lebar, merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan bungkusan dan membuka bungkusan itu, menyodorkannya kepada Kwi Lan. Kiranya tanpa bicara pemuda itu telah menawarkan kacang garing kepada Kwi Lan.
"Enak nonton di sini sambil makan kacang,"
Katanya dengan mata bersinar-sinar.
"Gerakan mereka dapat nampak jelas. Hayo bertaruh, siapa yang akan menang antara pengemis bertongkat kurus kering dan pengemis botak berpedang itu? Aku berpegang kepada Si Botak"
Kwi Lan makin suka kepada pemuda yang sebaya dengannya ini, atau mungkin lebih muda melihat sikapnya yang kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu lagi ia mengambil segenggam kacang, membuka kulit dan memakannya sambil menonton ke arah pertandingan.
"Aku bertaruh pengemis baju butut yang menang,"
Kwi Lan berkata setelah menonton sebentar. Kacang garing itu enak sekali, selain gurih dan wangi tanda kacang tua dan baik, juga agaknya diberi bumbu dan asinnya cukup.
"Belum tentu"
Kata Si Pemuda gembira dan kedua kakinya yang ongkang-ongkang itu digerak-gerakkan menendang.
"Memang Si Kurus Kering itu lebih lihai ginkangnya, lebih cekatan. Akan tetapi aku lihat Si Botak ini banyak tipu muslihatnya. Di gagang pedangnya terdapat alat untuk melepas jarum beracun."
"Ihhh.., Memang pengemis baju bersih itu golongan hitam dan curang"
Kwi Lan berseru.