Kakek pengemis baju butut yang bertahi lalat di bawah hidungnya, terdengar menarik napas panjang. Delapan orang ini biarpun tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi yang kaku hanyalah kaki tangan, sedangkan anggauta tubuh yanglain tidak, sehingga mereka masih mampu bicara.
"Kami tiga orang tua bangka memang telah berlaku ceroboh, tidak mengenal orang dan tidak dapat membedakan mana kawan mana lawan. Kehilangan tangan ini sudah sepantasnya.."
"Kouwnio, harap sudi mengampuni mereka. Tentu tadi mereka menyangka bahwa sayalah yang membunuh saudara mereka ini, padahal dia.. dia ini.., Tang Sun, suamiku.."
"Hemmm.., Kwi Lan bebaskan mereka"
Sian Eng menggerakkan kepalanya kearah tiga orang pengemis baju butut. Sebagai seorang murid yang amat tekun dan amat cerdik, tentu saja Kwi Lan sudah pula membaca dan mempelajari isi kitab Im-yang-tiam-hoat, sebuah kitab pusaka dari Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh Tok-siauw-kwi dan terjatuh ketangan Sian Eng. Dan tentu saja ia dapat pula membebaskan pengaruh totokan ilmu menotok jalan darah ini. Dihampirinya tiga orang kakek itu dan dengan sebuah jari telunjuk kanan, ditotoknya punggung belakang pusar mereka sambil tangan kirinya tidak lupa menampar belakang kepala. Sebetulnya tamparan belakang kepala ini tidak ada hubungannya dengan pembebasan totokan, tetapi dasar anak nakal, ia hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya kepada tiga orang kakek pengemis itu dalam kesempatan ini.
Kembali tiga orang kakek ini terkejut sekali. Mereka adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi dan tahu banyak tentang seluk-beluk Ilmu Tiam-hiat-hoat (Menotok Jalan Darah). Akan tetapi selama hidup mereka, baru sekali ini mereka tahu ada ilmu menotok jalan darah yang pembebasannya diharuskan menempiling kepala segala. Makin gentarlah mereka terhadap Sian Eng, dan cepat-cepat mereka menggunakan tangan kiri untuk menotok lengan kanan, menghentikan jalan darah agar darah yang mengalir keluar dari pergelangan tangan yang buntung itu berhenti. Kemudian, sejenak mereka memandang kepada Sian Eng, dan pengemis tua bertahi lalat segera menjura, diturut dua orang temannya dan bertanya,
"Kami bertiga dari Khong-sim Kai-pang telah menerima petunjuk Kouwnio (Nona), semoga lain kali kami akan dapat membalas kebaikan ini. Sudilah Kouwnio memberitahukan nama yang mulia dan tempat tinggal."
Sian Eng tersenyum, senyum yang dingin dan mendirikan bulu roma. Suaranya halus merdu akan tetapi juga mengandung hawa dingin yang menyeramkan ketika ia berkata,
"Aku Kam Sian Eng dan tinggal di hutan ini. Kalau belum puas, boleh suruh ketua Khong-sim Kai-pang datang. Pergilah"
Tiga orang pengemis tua itu menjura lalu menghampiri mayat Tang Sun, akan diambilnya. Bi Li maju hendak mencegahakan tetapi Sian Eng menghardiknya,
"Enci Bi Li, mundur kau"
Bi Li terkejut sekali dan segera meloncat mundur, wajahnya pucat dan air matanya bercucuran ketika ia melihat mayat suaminya dibawa pergi oleh tiga orang kakek pengemis itu. Tiga orang ini memandang sebentar kepada Bi Li dengan pandang mata kasihan, lalu menghela napas dan pergi dari tempat itu dengan langkah lebar sambil membawa mayat Tang Sun.
Lima orang pengemis tua baju bersih itu tadinya terkejut dan khawatir sekali mendengar bahwa anggauto Khong-sim Kai-pang yang terbunuh adalah suami wanita yang tertutup mukanya. Akan tetapi melihat sikap Bi Li dan mendengar bentakan wanita yang berkerudung dan mengaku bernama Kam Sian Eng itu, mereka menjadi lega hati. Jelas bahwa biarpun wanita yangkedua itu mempunyai suami anggauta Khong-sim Kai-pang, namun wanita aneh yang sakti itu sama sekali tidak bersahabat dengan Khong-sim Kai-pang. Biarpun tubuh mereka masih kaku dan tak mampu bergerak, namun pengemis yang tertua di antara mereka yang hidungnya bengkok seperti hidung kuku beluk berkata merendah,
"Mohon maaf sebanyaknya kepada Cianpwe yang mulia. Karena tidak tahu dan belum mengenal, boanpwe berlima berani mati lancang memasuki wilayah Cianpwe. Hendaknya Cianpwe memaklumi bahwa boanpwe berlima adalah pimpinan perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang (Perkumpulan pengemis Garuda Hitam) yang masih berada di bawah lindungan yang mulia Bu-tek Siu-lam. Maka boanpwe berlima mengharap sudilah kiranya Cianpwe melihat muka Ciangbujin (Pemimpin Besar) Bu-tek Siu-lam untuk mengampuni dan membenaskan boanpwe berlima"
Sian Eng mengerutkan keningnya. Diam-diam ia merasa geli mendengar betapa lima orang kakek itu menyebutnya cianpwe, sebutan bagi tokoh-tokoh tinggi dunia persilatan dan menyebut diri boanpwe, sikap yang amat merendahkan sekali. Akan tetapi ia heran mendengar nama Bu-tek Siu-lam (Laki-laki Tampan Tanpa Tanding). Siapakah itu? sudah terlalu lama ia mengasingkan diri sehingga tidak melihat perubahan di dalam dunia kang-ouw, tidak mengenal tokoh-tokoh barunya.
"Siapakah dia yang berjuluk Bu-tekSiu-lam itu?"
Tanyanya tanpa disengaja karena pertanyaan dalam hati ini terlonta rkelua rmelalu ibibirnya.
Lima orang pengemis tua baju bersih itu saling pandang dengan heran dan juga kecewa. Benarkah ada orang didunia kang-ouw ini yang belum mengenal nama Bu-tek Siu-lam? Dan wanita aneh ini demikian sakti. Tapi mungkin belum memasuk dunia kang-ouw. Karen aini, Si Hidung Bengkok segera berkata, sengaja mengangkat-angkat namabesar Bu-tek Siu-lam untuk menimbulkan kesan mendalam.
"Beliau adalah tokoh tertinggi di dunia kang-ouw yang datang dari dunia barat. Semua perkumpulan pengemis baju bersih berada dibawah perlindungan beliau, dan boanpwe yakin bahwa kelak beliaulah yang akan menjadi pemimpin besar semu akai-pang. Juga dalam pemilihan tokoh-tokoh terbesar untuk memilih jagoan yang Thian-he-te-it (di Seluruh Dunia Nomor Satu) yang akan diadakan di puncak Cheng-liong-san pada malam tahun baru nanti, sudah dapat dipastikan bahwa Ciang bujin Bu-tek Siu-lam yang akan keluar sebagai juara, jagoan di antara segala datuk. Tapi.. eh, kecuali.. kalau Cianpwe ikut pula dalam kejuaraan itu, keadaan akan makin ramai."
Demikian tambah Si Hidung Bengkok ketika melihat wajah di balik kerudung itu kelihatan tak senang.
"Aku tidak peduli segala macam Bu-tek Siu-lam. Kalian berlima sudah lancang berani menyerangku, berani memandang sebelah mata. Karena itu, kalian baru boleh pergi kalau kalian suka mencongkel keluar sebuah biji mata kalian"
Lima orang pengemis itu terbelalak, dan muka mereka pucat. Keringat dingin mengalir keluar membasahi jidat dan leher. Sebuah biji mata disuruh cokel keluar? Siapa yang sudi? Sebelah tangan sudah dibuntungkan, kini sebelah mata diminta lagi. Mana ada aturan begini bocengli (kurang ajar)? Wanita aneh ini tidak takut kepada Bu-tek Siu-lam, berarti belum mengenal. Kalau belum kenal, belum tentu wanita ini benar-benar sakti. Agaknya hanya memiliki Ilmu Tiam-hiat-hoat yang aneh sehingga mereka tadi menjad ikorban totokan sebelum dapat bergerak banyak dan sebelum melihat sampai di mana tingkat ilmu kepandaian wanita berkerudung itu. Karena tidak terdapat jalan lain untuk menghindarkan diri dari pada ancaman congkel mata, Si Hidung Bengkok lalu berkata, nadanya sengaja dikeluarkan untuk mengejek.
"Sebagai orang-orang kang-ouw kami tahu bahwa hukumnya adalah siapa kuat dia menang dan siapa kalah harus tunduk. Sayang sekali bahwa kami belum merasa dikalahkan, hanya dibuat tidak berdaya oleh serangan gelap. Sebagai tokoh-tokoh Hek-peng Kai-pang, kami mengandalkan keselamatan nyawa kami diujung pedang. Siapa tahu, sebelum kami sempat mencabut pedang, kami mengalami penghinaan. Kalau sudah tertotok seperti ini, bicara pun kami tak berhak. Seorang kanak-kanak yang masih ingusan sekalipun dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya terhadap kami"
Akal Si Hidung Bengkok ini berhasil baik sekali. Sian Eng menjadi merah mukanya dan sekali tubuhnya bergerak, tampak bayangan putih berkelebat. Ujung lengan bajunya menyambar dan lima orang kakek itu merasa betapa punggung belakang pusar mereka tertotok yang membuat tubuh mereka pulih seperti biasa. Serentak mereka berlima mencabut pedang dan membuat gerakan keliling, mengurung wanita berkerudung itu. Sian Eng yang berdiri di tengah-tengah dalam keadaan terkurung, hanya memandang tanpa mengubah kedudukan badan dan tanpa menoleh. Hanya sepasang matanya di balik kerudung hitam itu yang melirik ke kanan kiri, kemudian tampak giginya berkilat putih ketika iaberkata,
"Kalian telah bebas. Pedang telah dicabut. Tidak lekas mencokel mata kanan kalian. Tunggu apa lagi?"
Ucapan yang menyakitkan hati ini merupakan komando bagi lima orang kakek pengemis itu untuk menerjang dengan hebat. Sian Eng dalam keadaan terkepung dan lima orang itu melakukan serangan berbareng. Lima buah pedang dengan tusukan dan bacokan kilat mengarah tubuhnya. Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh dan lima orang pengemis terkejut ketika melihat bayangan putih melesat cepat dari tengah kepungan dan benar saja, ketika mereka melihat, ujung pedang mereka hanya mengenai tempat kosong dan lima buah pedang mereka hampir beradu sendiri dengan kawan. Cepat mereka menengok dan kiranya Sian Eng telah berdiri sambil bertolak pinggang disebelah kiri sambil tersenyum mengejek.
Pengemis hidung bengkok yang berdiri paling dekat, cepat menerjangnya dengan pedang, diikuti oleh teman-temannya yang kini tidak mengurung lagi. Inilah yang dikehendaki Sian Eng, yaitu agar lima orang pengeroyoknya itu menyerangnya dengan susul menyusul, tidak berbareng seperti tadi. Begitu pedang Si Hidung Bengkok menyambar, ia menggerakkan lengannya secara aneh. Pedang menusuk datang dan terdengarlah jerit mengerikan disusul robohnya tubuh pengemis hidung bengkok. Sian Eng tidak berhenti sampai disitu saja. Tubuhnya terus bergerak kedepan dan jerit kesakitan susul menyusul sehingga akhirnya empat orang pengemis yang lain juga roboh. Hanya beberapa puluh detik saja terjadinya. Lima orang pengemis itu sendiri tidak tahu benar apa yang terjadi. Ketika mereka menyerang secara mendadak pedang mereka membalik dan mencokel mata mereka sendiri, mata kanan.
Kini Sian Eng berdiri tegak, memandang lima orang pengemis itu yang merangkak bangun sambil merintih-rintih. Tangan kanan mereka sebatas pergelangan telah buntung. Tadi mereka menggunakan tangan kiri untuk bermain pedang, siapa kira, secara aneh sekali wanita sakti itu telah membuat pedang mereka membalik dan mencokel keluar biji mata kanan mereka dengan pedang mereka sendiri. Setelah mereka mampu berdiri, lima orang pengemis tua yang terluka parah itu, berdiri memandang Sian Eng dengan mata sebelah mereka, memandang penuh kemarahan dan kebencian.
"Pergilah kalau tidak ingin mampus"
Sian Eng berkata dingin. Lima orang pengemis itu ingin sekali menerjang mengadu nyawa. Akan tetapi kini maklumlah mereka bahwa terhadap wanita aneh ini mereka tidak berdaya sama sekali. Si Hidung Bengkok sambil meringis menahan sakit berkata,
"Akan kami laporkan bahwa engkau menantang ciang bujin kami Bu-tek Siu-lam"
"Boleh. Suruh dia datang kesini, akan kubuntungi kedua tangannya dan ku congkel keluar kedua biji matanya"
Bentak Sian Eng. Lima orang itu terkejut. Benar-benar wanita ini sudah gila, berani mengeluarka nkata-kata seperti itu terhadap Bu-tek Siu-lam yang sakti seperti dewa.
"Tunggulah dan kalau memang berani, datanglah kelak dipuncak Cheng-liong-san"
Sian Eng hanya tersenyum dan memandang lima orang itu yang pergi sambil meringis kesakitan. Setelah keadaan menjadi sunyi, barulah Sian Eng menoleh kepada Bi Li dan membentak,