Maling Budiman Berpedang Perak Chapter 18

NIC

“Bukan itu maksudku. Tapi ketika aku melihat wajah kedua orang itu, aku merasa pasti bahwa mereka adalah orang-orang yang baik hati. Kini uangnya kau curi, bukankah mereka akan merasa kecewa dan sedih? Suheng

... ! Kau begitu tega membuat orang lain menderita sedih?” Tan Hong tersenyum. “Sabarlah, sumoi, dan jangan kau berlaku kepalang tanggung. Marilah ikut aku dan saksikanlah sendiri pekerjaanku yang kauanggap kejam dan hina ini sampai selesai. Kalau sudah selesai, barulah kau boleh memberi komentar dan kritik.”

Biarpun masih merengut, namun Siok Lan menganggap bahwa ucapan ini benar juga, maka ia terus mengikuti pemuda itu menuju ke dusun-dusun. Alangkah bedanya keadaan di kota dan di dusun. Pada saat itu, bulan telah muncul setengah dan dari atas genteng Siok Lan dapat melihat jelas perbedaan ini. Baru genteng-gentengnya saja sudah jauh berbeda. Kalau rumah-rumah di kota tinggi- tinggi dan mempunyai wuwungan serta genteng yang kokoh kuat dan berwarna merah, adalah rumah di dusun- dusun jarang yang mempunyai genteng dari tanah. Kebanyakan hanya dipasangi daun-daun kering sebagai atap dan rumah-rumahnya rendah lagi kecil pula. Jika dibuat perbandingan, agaknya kandang kuda para hartawan di kota jauh lebih besar dan bagus daripada rumah orang- orang kampung ini.

Apalagi ketika itu kemiskinan sedang merajalela akibat bencana alam yang mengamuk dan yang paling merasakan akibatnya adalah orang-orang miskin ini.

Biasanya, apabila melakukan pekerjaan membagi-bagi hasil curiannya, Tan Hong tidak banyak memilih dan melemparkan potongan perak begitu saja dari atas atap ke atas pembaringan orang, akan tetapi kini ia sengaja membuka atap dan minta supaya Siok Lan menengok ke dalam. Tergetar juga hati Siok Lan melihat tubuh orang- orang yang kurus kering dengan pakaian tambal-tambalan serta dalam keadaan rumah yang benar-benar kosong dan miskin menyedihkan, tidur meringkuk kedinginan oleh karena mereka tidak mempunyai selimut untuk melindungi diri dari serangan angin yang dapat masuk melalui celah- celah bilik mereka yang bobrok.

Tan Hong sengaja melemparkan uang perak ke atas pembaringan dengan mengerahkan tenaga hingga uang itu menimpa papan pembaringan mengeluarkan suara keras.

Biasanya ia melempar dengan perlahan hingga tidak mengagetkan tuan rumah dan kebanyakan, mereka yang mendapat bagian ini pada keesokan harinya baru akan dapat melihat potongan uang di atas pembaringannya.

Karena suara nyaring yang ditimbulkan oleh bantingan uang di atas pembaringan itu, orang-orang yang tidur di dalam kamar menjadi terkejut dan terbangun. Alangkah kaget mereka ketika melihat tiga potong perak yang bercahaya di dalam gelap. Mereka segera menyalakan lampu minyak dan ketika melihat bahwa barang berkilau itu benar-benar uang perak, semua orang lalu merubung dan dengan mata terbelalak memandang.

Tan Hong mengajak Siok Lan pergi dari atas rumah itu, akan tetapi Siok Lan masih sempat melihat betapa orang- orang di dalam rumah itu menjatuhkan diri berlutut dan mengucapkan terima kasih kepada dewata yang telah memberi pertolongan kepada mereka!

Tanpa banyak cakap Tan Hong mengajak Siok Lan ke sebuah rumah lain dan secara bergilir ia membagi-bagikan potongan perak dan emas kepada penghuni-penghuni rumah gubuk di desa-desa itu. Banyak sekali pemandangan yang menimbulkan ngeri dan haru dalam hati gadis itu malam ini. Ia melihat pemandangan-pemandangan di dalam rumah yang benar-benar hebat mengharukan. Ada penghuni rumah yang sedang menangisi tubuh seorang anggota keluarga yang telah kaku dan mati. Ada pula yang sedang menangisi anaknya yang sakit, dan banyak sekali yang mengeluh dan menangis karena menderita lapar!

Yang paling mengesan di hati sanubari Siok Lan ketika mereka melihat dari atap ke dalam sebuah rumah yang amat bobrok. Seorang wanita muda tapi kurus kering dan pucat sedang menangisi mayat suaminya yang membuyur di atas balai-balai rusak dan seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun menangis pula memeluki ibunya.

“Ibu ... ! ibu ... ! ayah mengapa ... ibu ... ?”

Wanita itu tidak dapat menjawab, hanya menangis makin keras dan memeluki anaknya. Dari gerakan wanita itu, Siok Lan dapat menduga bahwa wanita itu juga menderita sakit payah, tubuhnya demikian lemah tak bertenaga.

“Sian-ji ... anakku ... jaga dirimu baik-baik nak ... kalau kau merasa lapar ... jangan malu-malu ... mintalah kepada orang lain ... minta belas kasihan orang-orang ... !”

“Aku harus mengemis, ibu ... ?” tanya anak itu. “Terpaksa, Sian-ji ... ! Apa boleh buat, kau tidak boleh

mati kelaparan seperti orang tuamu ... ! Kau masih anak-

anak, perlu hidup lebih lama ... anakku ... ! Oh, anakku Sian ji ... !” Wanita itu memeluk anaknya dan dekapan ini agaknya akan merupakan dekapan terakhir apabila wanita itu tidak segera mendapat pertolongan yang berupa obat- obat bagi penyakitnya dan beras bagi perutnya yang telah berhari-hari tidak diisi.

Akhirnya, setelah kesedihan dan keharuan itu agak mereda, terdengar ibu itu bertanya, “Sian-ji ... ! Kau ... lapar, nak?” Lama tidak terdengar jawaban, tapi kemudian terdengar juga suara anak itu lemah, “Ti ... tidak, ibu ... aku tidak lapar!”

“Sian-ji, jangan kau membohong, ibu dapat mendengar suara perutmu berkeruyuk ... “

“Tidak, ibu!” suara anak itu tetap dan keras. “Selama kau belum bisa mendapat makanan, aku takkan mau merasa lapar!”

Tak tertahan pula hati Siok Lan memandang dan mendengar semua ini, dan terdengarlah isak tangis gadis ini di atas atap! Dipegangnya lengan Tan Hong yang berjongkok di dekatnya. “Ah! Suheng ... kasihan sekali mereka itu ... tolonglah mereka!”

Tan Hong lalu mengambil semua sisa uang emas dan perak yang masih ada beberapa belas potong lagi lalu dilemparkannya uang itu ke dalam kamar tersebut.

Tak terdengar suara apa-apa di dalam kamar, seakan- akan kedua manusia yang berada di dalamnya merasa terkejut dan takut. Kemudian terdengar anak itu berseru lemah, “Ibu, ibu ... lihat, apakah ini?”

“Uang ... ! Ya Tuhan, uang emas dan perak ... Sian-ji ... “ terdengar wanita itu menangis lagi dan Siok Lan yang tak dapat menahan tangisnya, lalu melompat pergi dari situ sambil terisak-isak!”

Tan Hong mengejarnya dan segera memegang lengan sumoinya. “Sumoi, tenanglah! Pemandangan seperti itu bagiku tidak aneh lagi, dan sekarang nyatakanlah pendapatmu tentang pekerjaanku ini.” Sambil berkata demikian, Tan Hong mengebut-ngebutkan kedua kantong kuningnya yang telah kosong dan memasukkan ke dalam saku bajunya. Siok Lan memandang semua ini dengan mata berlinang penuh air mata, kemudian ia berkata, “Ah, Tan-suheng, tak kusangka di dunia ini ada pemandangan yang demikian menyedihkan. Tak kusangka bahwa banyak sekali bangsa kita yang hidup sengsara! Ah, kini aku mengerti mengapa kau menjadi maling!”

Tan Hong menghela napas lega. “Sumoi, ternyata kau juga mempunyai keadilan dan kejujuran serta hati welas asih. Memang, jangan kaukira bahwa akupun tidak kasihan melihat kedua suami isteri hartawan yang kucuri uangnya tadi. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa selain harta yang kucuri, mereka itu masih mempunyai banyak harta lain yang takkan habis mereka makan selama hidup bersama anak cucu mereka! Dibandingkan dengan kesengsaraan para rakyat miskin itu, apakah arti kesedihan kedua suami isteri hartawan yang kehilangan sedikit uangnya itu?”

“Kau benar, suheng. Mulai sekarang aku tidak mau memandang rendah lagi kepada pekerjaanmu. “

“Sumoi! Baru melihat saja keadaan orang-orang yang miskin dan menderita kelaparan, hatimu telah tidak kuat, itu tanda seorang berbudi mulia. Kau baru melihat saja sudah ikut merasa sengsara, apalagi aku telah mengalami sendiri!” Tan Hong menghela napas karena teringat akan pengalamannya di waktu masih kecil.

“Engko Hong, kau pernah mengalami ... kelaparan?” tanyanya dan panggilannya

berubah “engko” yang lebih mesra daripada “suheng”. Perubahan ini terloncat keluar dari mulutnya tanpa dirasainya, sedangkan kedua matanya memandang dengan bersinar penuh perasaan iba.

Tan Hong tersenyum sedih. “Ayah ibuku meninggal karena kelaparan! Hal ini baru kepadamu saja kuceritakan dan tak perlu aku malu akan hal itu. Sedangkan aku sendiripun hampir saja mati kelaparan kalau tidak ditolong oleh suhu.”

Siok Lan makin tertarik dan mendesak supaya Tan Hong menceritakan pengalamannya dengan singkat dan Siok Lan yang mendengar penuturan ini, mengucurkan air mata karena terharu dan kasihan.

“Alangkah malang nasibmu, engko Hong. Kini mengertilah aku mengapa kau selalu bermuram durja seperti seorang yang telah menderita kesengsaraan hebat, dan tahu pula aku mengapa kau demikian memperhatikan nasib-nasib orang-orang yang menderita kelaparan hingga rela menjadi maling untuk menolong mereka! Kau mencuri semata-mata untuk menolong rakyat miskin hingga kau melupakan dirimu sendiri, dan lihatlah pakaianmupun sudah penuh tambalan. Ah, aku dulu sala sangka, engko Hong. Kau benar-benar seorang maling budiman yang mulia dan suci!”

“Terima kasih, adikku yang baik. Sekarang aku tidak menderita lagi, bahkan aku merasa hidupku penuh bahagia. Terutama sekali semenjak kita bertemu.” Tan Hong memandang tajam dan untuk sesaat Siok Lan membalas pandang, mata pemuda itu, akan tetapi gadis ini segera menundukkan muka dengan malu.

“Ah, hari telah mulai terang, mari kita pulang. Tentu Ong-suheng menanti-nanti kita!” katanya sambil melompat jauh. Tan Hong mengejar dan mereka lalu lari dengan cepat menuju ke rumah penginapan.

***

Ketika mereka tiba di atas genteng rumah penginapan itu, alangkah terkejut mereka melihat betapa Ong Kai sedang mengamuk dan dikeroyok oleh lima orang yang berpakaian sebagai piauwsu! Ternyata ketika Ong Kai berada seorang diri di dalam kamarnya dan tidur nyenyak, menjelang fajar, tiba-tiba ia mendengar suara banyak kaki orang berada di atas genteng kamarnya. Pemuda ini menyangka bahwa tentu ada orang- orang jahat hendak menyerbu, maka cepat ia mencabut pedangnya dan keluar dari jendela kamarnya. Benar saja, di atas genteng ia melihat bayangan beberapa orang memegang pedang.

Ong Kai memang pemberani dan tabah. Ia segera mengayun tubuhnya melompat ke atas sambil membentak, “Bangsat-bangsat kecil, mau apa pagi-pagi datang mengganggu orang?”

Kelima orang yang berada di atas genteng melihat pemuda muka hitam ini, berseru, “Nah, ini dia orangnya! Tangkap! Bunuh!” Mereka lalu maju mengeroyok tanpa banyak pertanyaan lagi!

Tentu saja Ong Kai sangat marah. Ia maklum tentu telah terdapat salah paham dan salah sangka, akan tetapi dasar ia berhati keras dan tabah, ia tidak mau banyak bertanya pula. Dengan sengit ia memutar-mutar pedangnya dan kelima orang piauwsu yang mengepungnya itu terpaksa mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk menahan amukan pemuda muka hitam itu! Biarpun ia hebat dan keras hati, namun Ong Kai masih dapat membedakan orang jahat dan orang baik, maka iapun tidak mau menurunkan tangan kejam, dan hanya memainkan pedangnya sedemikian rupa untuk memamerkan kepandaian saja tanpa mengirim serangan yang dapat mendatangkan bahaya bagi kelima orang musuhnya!

Posting Komentar