Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 18

NIC

Akhirnya Bwee Hwa tidak kuat lagi. Ia menjadi mabok dan dengan terhuyung-huyung ia diantar oleh dua orang pelayan wanita memasuki kamarnya. Tanpa membuka pakaian lagi ia langsung menjatuhkan diri di atas pembaringan di kamar itu dan langsung tertidur pulas.

Bwee Hwa mendengar kicau burung. Banyak burung berkicau dan suara mereka indah sekali, mendatangkan suasana riang gembira. Ia membuka kedua matanya dan melihat jendela kamar itu sudah terbuka. Angin pagi semilir masuk mendatangkan hawa sejuk. Kepalanya masih berdenyut aneh dan teringatlah ia bahwa semalam ia terlalu banyak minum arak. Ia hendak mengangkat tangan untuk memijat pelipisnya yang terasa agak pening. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kedua tangannya tidak dapat ia angkat.

Ia cepat menggerakkan kedua kaki untuk melompat turun dari atas pembaringan, namun juga kedua kakinya tidak dapat di gerakkan. Cepat ia mengerling dengan sudut matanya dan ia menjadi heran, kaget dan marah bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa kedua kaki dan tangannya telah terbelenggu kuat-kuat!

Bwee Hwa mengerahkan tenaga untuk memutuskan belenggu kaki tangannya itu, akan tetapi agaknya orang yang membelenggunya sudah siap menghadapi kemungkinan ini. Karena mengetahui betapa kuat tenaga sin-kang gadis itu, maka mereka menggunakan tali yang amat kuat, ulet dan lentur sehingga semua upayanya untuk mematahkan belenggu itu hanya menghasilkan rasa nyeri dan pedas pada pergelangan kaki dan tangannya.

“Jahanam Gak, manusia keparat rendah, pengecut besar!” Bwee Hwa berteriak-teriak nyaring, memaki- maki penuh kemarahan. Ia hanya dapat menggulingkan tubuhnya sehingga akhirnya ia terguling dan jatuh dari atas pembaringan dalam keadaan rebah dan tidak mampu bangkit duduk.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan Gak Sun Thai muncul dari pintu kamar.

“Ha-ha-ha, perempuan muda yang sombong! Coba ingin kulihat apakah engkau dapat membebaskan dirimu sekarang, ha-ha-ha!”

Bwee Hwa menggulingkan tubuhnya sehingga ia dapat memandang wajah kepala gerombolan itu. “Huh, orang she Gak! Apakah engkau tidak tahu malu? Pantaskah kecurangan ini dilakukan seorang laki-laki jantan? Sungguh engkau manusia hina, rendah dan curang! Mengapa engkau melakukan kecurangan seperti ini kepadaku yang tadinya kauanggap sebagai seorang sahabat?”

“Bwee Hwa, jangan engkau sombong! Biarpun kepandaianmu tinggi, akan tetapi engkau masih hijau dan tolol. Ketahuilah, kalau saja engkau bukan puteri Kauw-jiu Pek-wan, tentu sekarang engkau masih kuanggap sebagai seorang tamu agung yang kami hormati. Akan tetapi engkau adalah puteri Si Lutung Gila itu! Dia telah memukul, memaki, menghina dan mengusir aku. Pada hal aku telah bertahun-tahun menjadi pembantunya yang setia. Telah lama sekali aku mendendam kepadanya, dan sekarang engkau anaknya dengan suka rela datang menyerahkan diri. Maka, jangan engkau mati penasaran, biarlah engkau mewakili ayahmu atas kelakuannya yang jahat kepadaku dahulu dan biarlah engkau yang menebus dosanya.”

“Pengecut hina! Beginikah caramu membalas dendam? Kalau engkau memang laki-laki, lepaskan ikatan ini dan mari kita bertanding seribu jurus sampai seorang di antara kita mati!”

“Ha-ha-ha, kaukira aku begitu bodoh? Terus terang kuakui bahwa aku tidak mampu menandingimu. Kepandaianmu tinggi, aku tidak begitu bodoh untuk membebaskanmu. Engkau sudah tertawan dan dendamku akan terbalas terhadap Kauw-jiu Pek-wan melalui engkau, anaknya!”

Bwee Hwa merasa gemas sekali. “Bangsat rendah tak tahu malu. Aku sudah terjatuh dalam akal dan tipu muslihatmu yang curang dan rendah. Hayo engkau cepat ambil senjata dan bunuh mati aku agar nyawaku dapat bebas untuk mencekik batang lehermu!” “Enak saja kau bicara! Bukan semudah itu engkau mati.”

“Apa yang hendak kaulakukan, jahanam busuk?” Bwee Hwa membentak dengan marah, akan tetapi diam-diam ia merasa khawatir. Mati bukan apa-apa baginya dan ia tidak takut. Akan tetapi ia merasa khawatir kalau-kalau manusia rendah itu akan menggunakan akal busuk lain lagi untuk menyiksanya.

“Nona manis, kaulihat sajalah nanti. Aku akan menghibur anak buahku dengan pertunjukan yang menarik hati.”

Setelah berkata demikian, Gak Sun Thai berteriak memanggil empat orang anak buahnya yang menanti di luar kamar. Atas perintah Gak Sun Thai, empat orang itu lalu mengangkat dan memanggul tubuh Bwee Hwa keluar dari rumah itu. Gadis itu lalu dinaikkan ke atas punggung dua ekor kuda yang di tengah-tengah antara mereka telah dipasangi usungan.

Bwee Hwa dipaksa duduk di dalam usungan itu dengan kaki tangan tetap terbelenggu. Ia meneliti dengan sudut matanya dan melihat betapa orang-orang yang kemarin mengaguminya itu kini tampak bermuka beringas, buas dan kejam, tanda bahwa mereka semua telah ikut membenci dan memusuhinya.

Tak lama kemudian, Gak Sun Thai bersama tiga orang pembantu utamanya yang kemarin menguji kepandaian Bwee Hwa, memimpin para anak buah gerombolan membawa Bwee Hwa ke dalam hutan yang tampaknya lebih lebat dan liar lagi. Mereka melalui sepanjang lorong kecil yang agaknya merupakan jalan rahasia mereka dan jalannya mendaki, menuju puncak bukit. Kurang lebih lima li mereka berjalan, mereka tiba di puncak bukit di mana terdapat tempat terbuka karena pohon-pohon yang tumbuh di situ tidak berdempetan, akan tetapi semua pohon itu sangat tinggi.

Bwee Hwa lalu diturunkan dan diikat pada sebatang pohon besar yang berdiri agak terpencil. Ia dihadapkan ke arah timur, disinari matahari yang mulai cerah sinarnya.

“Nah, malam tadi engkau kami jamu dengan pesta makan besar, sekarang biarlah engkau yang menjadi hidangan lezat!” kata Gak Sun Thai sambil menyeringai. Wajahnya tampak bengis penuh dengan kekejaman hati yang mendendam.

Bwee Hwa diam saja, hanya tetap waspada memperhatikan keadaan sekelilingnya walaupun ia sama sekali tidak berdaya. Ia tahu bahwa dirinya berada dalam ancaman bahaya maut, akan tetapi tidak dapat menduga apa macam bahaya itu.

Gak Sun Thai lalu mengeluarkan sebuah terompet dari tanduk kerbau dan diapun meniup terompet itu. Terdengar suara mengaum yang menyeramkan, seperti bunyi seekor kerbau menguak, akan tetapi suara itu memanjang dan mengandung getaran yang dapat membuat suara itu terdengar sampai jauh, bergaung.

Ketika kepala gerombolan itu meniup terompetnya, semua anak buahnya yang berdiri mengelilinginya berdongak memandang ke atas sehingga Bwee Hwa juga memandang ke atas. Akan tetapi langit yang kelabu itu tampak bersih tidak ada sesuatu yang aneh sehingga Bwee Hwa merasa heran sekali. Apakah yang sedang dilakukan orang-orang yang wajahnya beringas ini? Berulang-ulang Gak Sun Thai meniup terompetnya sehingga mukanya mulai berkeringat dan urat lehernya menggembung.

Tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru, “Nah itu mereka datang!”

Semua orang memandang ke atas. Juga Bwee Hwa melihat ke arah yang ditunjuk itu. Tiba-tiba hatinya berdebar dan tahulah ia kini apa yang dikehendaki Gak Sun Thai yang sudah seperti gila oleh dendam sakit hatinya.

Di atas udara tampak dua titik hitam melayang-layang dan berputar-putar mengelilingi sekitar tempat itu. Jelas bahwa dua titik hitam itu merupakan burung terbang. Setelah dua titik hitam itu melayang turun semakin dekat, tampaklah bahwa mereka adalah dua ekor burung rajawali yang amat besar, seperti dua ekor rajawali yang dibunuhnya kemarin!

Gak Sun Thai dan semua anak buahnya lalu berloncatan menyelinap di antara semak-semak dan mereka semua bersembunyi. Akan tetapi Gak Sun Thai yang bersembunyi di dalam semak belukar masih terus meniup terompetnya.

Dua ekor burung rajawali itu kini telah tiba di atas pohon di mana Bwee Hwa terikat. Mereka terbang mengelilingi pohon itu dan Gak Sun Thai sudah meng-hentikan tiupan sulingnya.

Kini mengertilah Bwee Hwa. Tiupan terompet tanduk kerbau itu adalah untuk menarik perhatian dan memanggil dua ekor burung itu dan dirinya dipasang di situ sebagai umpan. Pantas saja kepala gerombolan itu tadi berkata bahwa ia hendak dijadikan sebagai hidangan lezat. Ia hendak dijadikan mangsa dua ekor burung itu!

Tentu saja Bwee Hwa merasa ngeri membayangkan betapa tubuhnya akan dicabik-cabik. Akan tetapi ia menggigit bibirnya. Tak sudi ia mengeluh atau menjerit memperlihatkan rasa takutnya kepada Gak Sun Thai dan anak buahnya. Ia akan menghadapi kematiannya dengan tabah dan gagah, sesuai dengan nasihat gurunya dahulu. “Lebih baik mati seperti harimau daripada hidup seperti babi!” kata gurunya yang menganjurkan agar ia selalu menjaga nama dan kehormatan, bersikap gagah biar diancam kematian sekalipun dan tidak boleh berbuat rendah dan bersikap pengecut.

Melihat semua orang bersembunyi, tahulah Bwee Hwa bahwa mereka takut menjadi korban dua ekor burung ganas itu dan mereka kini tentu sedang mengintai dengan hati tegang dan gembira! Kini ia tahu mengapa ia diikat di pohon itu dengan menghadap ke timur. Dengan demikian tubuhnya akan disinari matahari dan dapat dengan mudah tampak oleh sepasang burung rajawali itu.

Benar saja dugaannya. Agaknya dua ekor rajawali itu kini dapat melihat tubuh gadis yang terikat di batang pohon. Mereka mengeluarkan bunyi nyaring seperti kegirangan dan keduanya meluncur turun sampai dekat sekali dengan pohon. Mereka mengelilingi pohon dan kepakan sayap mereka yang besar dan kuat itu mendatangkan angin membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang. Kini keduanya mengeluarkan bunyi cecowetan seolah berunding siapa yang akan lebih dulu menyerang calon mangsa yang berada di bawah pohon itu.

Posting Komentar