Melihat cara Gak Sun Thai memegang dan menggerakkan siang-kiam (sepasang pedang) itu, Bwee Hwa maklum bahwa kepala gerombolan ini memiliki ilmu silat yang lumayan juga, maka iapun tidak bersikap sungkan lagi. Ia menggerakkan tangan kanannya dan tampak sinar berkelebatan ketika Sin-hong-kiam sudah tercabut dan berada di tangannya. Pedang itu berkilauan tertimpa sinar matahari sore yang mulai redup.
Melihat gadis itu sudah siap dengan pedangnya, Gak Sun Thai lalu memasang kuda-kuda, kemudian dia menyilangkan siang-kiam di kedua tangannya lalu membentak nyaring, “Ang-hong-cu, lihat sepasang pedangku!”
Dia menyerang dengan gerakan Siang-liong-jiu-cu (Sepasang Naga Memperebutkan Mustika). Sepasang pedang itu menyerang dari kanan kiri, menyilaukan dan merupakan serangan yang berbahaya sekali karena menutup jalan dari kanan kiri.
“Bagus!” Bwee Hwa memuji dan iapun bergerak cepat sekali. Tampak pedangnya berubah menjadi gulungan sinar ketika ia memainkan jurus Seng-siok-hut-si (Musim Panas Mengebutkan Kipas).
“Trangg…… cringgg……!” Sinar pedangnya sudah menangkis dan menggagalkan serangan lawan.
Gak Sun Thai terkejut ketika merasa betapa kedua tangannya tergetar hebat akibat benturan sepasang pedangnya dengan pedang gadis itu. Dia sudah tahu bahwa gadis itu memiliki tenaga sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat, akan tetapi setelah merasakannya sendiri, dia menjadi kaget. Bagaimana mungkin tangan yang kecil mungil dari tubuh gadis yang belum matang itu dapat mengandung tenaga yang demikian kuatnya. Gak Sun Thai lalu memainkan pedangnya, mengeluarkan semua ilmu simpanannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Terjadilah pertandingan pedang yang amat seru. Tubuh mereka berubah menjadi dua bayangan yang berkelebat di antara gulungan sinar pedang. Akan tetapi permainan pedang membutuhkan gerakan yang cepat dan lincah, dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dikuasai Bwee Hwa sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Gak Sun Thai memang lihai permainan silat sepasang pedangnya dan diapun memiliki tenaga yang cukup kuat, akan tetapi dia harus mengakui bahwa dalam hal kelincahan dan kecepatan, dia masih kalah jauh dibandingkan gadis itu. Maka, perlahan-lahan dia mulai terdesak dan terkurung gulungan sinar pedang Bwee Hwa.
Hal ini sebetulnya tidak mengherankan. Perlu diingat bahwa Bwee Hwa adalah murid tersayang dari Sin- kiam Lojin (Orang Tua Pedang Sakti). Maka sudah barang tentu ilmu pedang yang dikuasai gadis itu mencapai tingkat tinggi dan lihai sekali.
Gak Sun Thai memang seorang tokoh kang-ouw yang sudah lama berkecimpung di dunia persilatan, namun belum pernah dia bertemu tanding yang memiliki ilmu pedang sehebat ini. Apalagi ketika Bwee Hwa melakukan tekanan dan dari mulutnya keluar suara berdengung dan mengaung seperti banyak tawon mengamuk dan mengeroyok kepala gerombolan itu. Gak Sun Thai menjadi bingung dan pening, gulungan sinar pedang Sin-hong-kiam menyilaukan dan mengaburkan matanya sehingga dia hanya mampu bertahan dengan memutar kedua pedangnya untuk melindungi tubuhnya.
“Sing-sing....... trang!” Gak Sun Thai berseru kaget, demikian pula para penon-ton melihat betapa sepasang pedang kepala gerombolan itu terlepas dari kedua tangannya dan terlempar lalu berjatuhan di atas tanah. Seorang anak buah gerombolan cepat mengambil sepasang pedang itu dan menyerahkannya kembali kepada Gak Sun Thai.
Kepala gerombolan ini cepat memberi hormat kepada Bwee Hwa, merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam lalu berkata, “Nona, mulai saat ini, kami semua menyatakan kalah dan takluk kepadamu dan kami mengangkat nona menjadi pemimpin kami!”
Hampir saja Bwee Hwa tidak dapat menahan geli hatinya dan tertawa. Ia menjadi seorang kepala perampok? Ah, kalau saja ia tidak melihat betapa semua orang mengangkatnya dengan bersungguh hati, tentu ia akan marah dan merasa terhina. Para anak buah gerombolan itu setelah mendengar ucapan Gak Sun Thai, lalu memberi hormat kepada Bwee Hwa dan semua orang menyatakan ingin mengangkat gadis itu menjadi pimpinan.
“Saudara-saudara, janganlah sembarangan mengangkat orang. Biarpun ini merupakan suatu penghormatan besar sekali, akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat menerima pengangkatan ini dan menjadi seorang kepala perampok? Sudahlah jangan diulangi lagi permintaan gila ini agar aku tidak menjadi marah. Sekarang harap kalian bubaran dan melakukan pekerjaan kalian masing-masing. Aku hendak melanjutkan perjalananku!”
Dengan kecewa semua anak buah gerombolan itu bubaran dan melanjutkan kesibukan masing-masing yang tadi tertunda untuk menonton pertunjukan pertandingan silat yang menarik itu. “Sayang sekali engkau menolak permohonan kami, nona. Sekarang engkau hendak pergi ke manakah?” tanya Gak Sun Thai dengan wajah kecewa karena kalau gadis perkasa ini mau menjadi pemimpin mereka tentu kedudukan mereka menjadi lebih kuat lagi.
Tiba-tiba teringatlah Bwee Hwa bahwa ia tadi berniat untuk mencari keterangan perihal ayahnya, maka mendengar pertanyaan Gak Sun Thai itu ia cepat menjawab.
“Paman Gak, sebenarnya aku sedang mencari seorang yang barangkali saja kalian mengenal namanya. Dia adalah serang tokoh kang-ouw terkenal dengan julukan Kauw-jiu Pek-wan.”
Gak Sun Thai tampak terkejut sekali dan matanya terbelalak memandang kepada Bwee Hwa.
“Si Lutung Putih Tangan Sembilan? Engkau maksudkan hendak mencari Kwee-locianpwe (Orang Tua Gagah Kwee)?”
Jantung dalam dada Bwee Hwa berdebar tegang. Agaknya kepala gerombolan ini mengenal ayahnya! “Benarkah Kauw-jiu Pek-wan itu seorang bermarga Kwee?”
“Tentu saja benar, nona. Siapakah yang tidak mengenal Kwee-locianpwe yang berjuluk Kauw-jiu Pek- wan, tokoh besar dunia liok-lim (rimba hijau, dunia hitam) yang amat tersohor itu. Nona mencarinya? Ada hubungan apakah antara nona dengan dia?”
“Aku adalah puterinya!” kata Bwee Hwa terus terang karena ingin sekali mendapatkan keterangan yang jelas tentang ayahnya.
Gak Sun Thai menjadi pucat wajahnya dan dia terbelalak sambil mundur tiga langkah sehingga Bwee Hwa merasa heran sekali dan menegur. “Paman Gak, kenapa engkau agaknya begitu kaget mendengar bahwa aku adalah anak Kauw-jiu Pek-wan?”
“Ah, aku. eh, siapa yang tidak akan merasa heran mendengar bahwa engkau anaknya, nona. Engkau
mengaku anaknya akan tetapi engkau tidak mengenalnya, bahkan tidak mengetahui namanya. Mana mungkin ada anak tidak mengenal orang tuanya sendiri?”
Bwee Hwa maklum bahwa agaknya memang tidak mungkin ada seorang anak tidak mengenal ayahnya sendiri. Karena ingin mendapat keterangan tentang ayahnya, terpaksa ia mengaku dengan singkat.
“Paman Gak, ketahuilah bahwa sejak kecil aku diculik orang dari orang tuaku dan baru sekarang aku hendak mencari mereka. Agaknya paman mengenal ayahku, maka katakanlah, di mana aku dapat menemukan ayahku dan siapakah nama lengkapnya?”
“Ah, begitukah? Kalau begitu, memang sebagai seorang anak berbakti engkau harus mencari ayahmu, nona. Ayahmu itu bernama Kwee Ciang Hok dan berjuluk Kauw-jiu Pek-wan. Tetapi telah beberapa tahun ini ayahmu mencuci tangan karena dia telah mengumpulkan harta kekayaan yang besar dan dia kini hidup sebagai seorang hartawan besar di sebuah dusun di atas bukit Twi-bok-san dan menjadi raja kecil di sana.” Mendengar keterangan yang sangat berharga ini Bwee Hwa cepat memberi hormat dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan kepala gerombolan itu. Kemudian ia bertanya dengan ramah.
“Paman Gak Sun Thai yang baik, melalui manakah jalan terdekat menuju ke Bukit Twi-bok-san itu? Tolong paman beri petunjuk kepadaku.”
Gak Sun Thai memandang ke atas dan mengerutkan alis lalu berkata, “Ang-hong cu, sekarang hari telah menjelang senja, sebentar malam tiba dan kalau malam daerah ini menjadi gelap sekali. Amat sukar untuk keluar dari daerah hutan ini kalau tidak mengenal jalan, apalagi bagi orang yang asing di daerah ini. Perjalanan ke Bukit Twi-bok-san tidaklah dekat. Oleh karena itu, sebaiknya kalau nona melewatkan malam ini di sini. Besok pagi-pagi engkau akan kuantar sendiri keluar dari hutan ini dan kutunjukkan jalan terdekat menuju Twi-bok-san.”
Bwee Hwa merasa tidak enak untuk mengganggu dan ia hendak menolak. Akan tetapi Gak Sun Thai cepat berkata, “Jika nona memaksa hendak berangkat sekarang juga, tetap saja engkau terpaksa harus bermalam di hutan ini, padahal hutan-hutan di sini penuh binatang buas, bahkan banyak pula ular berbisa. Bukan maksudku meremehkan nona yang tentu saja dapat menjaga dan membela diri terhadap serangan binatang buas. Akan tetapi setidaknya hal itu akan membuat nona tidak dapat beristirahat dengan santai. Karena itu, sekali lagi kami benar-benar mengharap agar nona suka bermalam di sini untuk semalam ini saja.”
Akhirnya Bwee Hwa melihat kebenaran ucapan kepala gerombolan itu. “Sesungguhnya aku merasa tidak enak sekali menerima semua kebaikan paman, akan tetapi apa boleh buat, terpaksa aku mengganggu paman dan kawan-kawan semua untuk satu malam lagi.”
Gak Sun Thai merasa gembira sekali. “Ah, nona tidak perlu banyak sungkan. Kami merasa terhormat sekali!” Dia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mempersiapkan sebuah kamar untuk Bwee Hwa, menyediakan air untuk mandi dan mempersiapkan pula hidangan untuk makan malam sebagai penghormatan terhadap tamu yang mereka kagumi dan hormati itu.
Setelah mandi air yang cukup banyak, Bwee Hwa merasa tubuhnya segar. Hidangan malam itu lebih meriah lagi dan diramaikan dengan tarian dan nyanyian yang dilakukan keluarga para anggauta gerombolan. Suasana menjadi meriah dan riang gembira.
Bwee Hwa terbawa ke gembiraan itu. Diam-diam gadis ini merasa heran karena dalam keadaan seperti itu, sama sekali tidak membayangkan bahwa ia berada di tengah perkampungan yang menjadi sarang perampok-perampok ganas! Arak harum berulang kali disuguhkan oleh Gak Sun Thai yang bergantian dengan para pembantunya menyulangi gadis itu. Dalam kegembiraannya, gadis yang masih kurang pengalaman ini merasa tidak enak untuk menolak dan iapun minum banyak arak wangi sampai kepalanya mulai merasa pening.