Istana Pulau Es Chapter 17

NIC

"Malam ini aku mengajak dia larl minggat! Itulah jalan satu-satunya!"

Malam itu gelap sekali. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membuat hawa menjadi dingin, cuaca gelap dan keadaan sunyi senyap. Di ruangan dalam gedung bangsawan Thio. Menteri Kam Liong dijamu penuh kehormatan oleh bangsawan Thio, adiknya calon pengantin, duda yang usianya sudah lima puluh tahun, dan ditemani pula oleh Ciok Khun. Menteri Kam Liong diundang selain untuk dijamu dan sebagai tanda terima kasih keluarga itu, juga Menteri ini memenuhi janjinya untuk mencegah Suma Hoat mengganggu Ciok Kim Hwa di kamarnya. Para penjaga sudah disiapkan bersembunyi di sekeliling kamar Kim Hwa, bertugas mengintai kalau-kalau Suma kongcu datang di kamar itu seperti biasa.

Datang seperti setan karena pemuda ini datang melalui genteng dan bergerak cepat seperti burung saja. Mereka hanya bertugas mengintai, karena untuk menangkap tentu saja mereka tidak berani. Untuk tugas itu, mereka mengharapkan bantuan Menteri Kam Liong yang selain tinggi ilmunya, juga tinggi kedudukannya dan masih pek-hu (uwa) dari pemuda bangsawan yang lihai itu. Sesosok bayangan berkelebat dan para penjaga cepat lari memberi laporan kepada mereka yang masih makan minum di ruangan dalam. Mendengar laporan ini merah wajah Kam Liong dan bergegas mereka semua lari menuju ke kamar dara itu. Bangsawan Thio bersama adiknya di depan, disusul Ciok Khun dan paling belakang adalah Menteri Kam Liong yang bersikap tenang sungguhpun hatinya panas, malu dan marah.

Betapapun juga, Suma Hoat adalah keponakannya dan perbuatan itu berarti mencemarkan nama baiknya pula. Bayangan itu memang Suma Hoat yang bergegas memasuki kamar kekasihnya melalui genteng. Sambil membongkar genteng ia membayangkan betapa kali ini kekasihnya tentu tidak menyambut dengan ciuman dan pelukan gembira seperti biasa, dan mungkin akan menyambutnya dengan tangisan, akan tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk membawa lari kekasihnya, menghiburnya dan membahagiakannya. Setelah berhubungan cinta dengan Kim Hwa, ia tidak suka menoleh ke arah wanita lain, seolah-olah ia muak terhadap wanita lain. Ia sudah menemukan cintanya! Jangan khawatir, kekasihku, kita akan hidup, ia berbisik, sambil menutupkan kembali genteng agar jangan kemasukan air hujan, kemudian membuka langit-langit dan meloncat turun dengan ringan sekali ke dalam kamar.

Ia menduga bahwa Kim Hwa tentu menelungkup di ranjang sambil menangis. Setelah kedua kakinya menginjak lantai, ia menghampiri pembaringan, membuka kelambu dan.... pembaringan itu kosong! Matanya mencari-cari dan seperti ada sesuatu yang mendorongnya, ia membalikkan tubuh ke kanan dan.... ia tersentak kaget, napasnya terhenti seketika, kedua kakinya menggigil, matanya terbelalak memandang kearah tubuh yang tergantung di sudut, tubuh yang tak bergerak-gerak, tubuh Kim Hwa yang lehernya terikat ikat pinggang dan tergantung pada tiang melintang. Sebuah bangku roboh terguling di bawah kakinya. Suma Hoat memaksa kakinya melangkah, kakinya menggigil, wajahnya pucat, bibirnya gemetar, bergerak-gerak namun tak mengeluarkan suara, kedua lengannya diulur ke depan, siap memeluk, hatinya menjerit.

"Kekasihku, marilah.... kenapa kau tidak menyambut aku....?"

Akan tetapi tubuh itu masih tergantung tak bergerak dan ia terhuyung ke depan, pandang matanya gelap, mengharapkan semua ini hanya mimpi, digigitnya bibirnya sendiri sampai robek berdarah, namun tetap saja tubuh kekasihnya itu tergantung, tak bergerak.

"Kim Hwa....!"

Jeritnya meledak dari dasar hatinya dan pemuda itu terguling roboh, pingsan di bawah kaki mayat Kim Hwa yang masih tergantung! Pintu kamar ditendang roboh oleh Menteri Kam Liong yang berlari-lari mendengar jerit dari kamar itu. Mereka semua masuk dan berdiri terbelalak memandang berganti-ganti ke arah mayat Kim Hwa yang tergantung lehernya dan tubuh Suma Hoat yang rebah pingsan.

"Kim Hwa anakku....!"

Ciok Khun berseru akan tetapi ia ditahan oleh bangsawan Thio ketika hendak menubruk maju karena khawatir menyaksikan kehadiran Suma Hoat.

"Suma Hoat....!"

Kam Liong berseru memanggil keponakannya dengan suara berat. Suma Hoat bergerak perlahan, mengeluh lalu berdongak.

"Kim Hwa....!"

Ia menjerit lagi, meloncat bangun dan sekali renggut putuslah ikat pinggang yang mengikat leher dan memutuskan nyawa gadis itu. Dipondongnya tubuh itu, lalu dipangkunya, diciumnya muka itu didekap kepalanya.

"Kim Hwa....! Kekasihku.... Isteriku.... kau.... kau.... aduh, Kim Hwa.... mengapa kau membunuh diri....?"

Suma Hoat menangis, mengguguk diatas dada mayat kekasihnya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang wajah kekasihnya yang matanya terpejam seperti orang tidur Lalu ia memondong tubuh itu, perlahan dibawanya tubuh itu ke atas ranjang, direbahkannya hati-hati, lalu diselimutinya dan ia berkata lirih,

"Kekasihku, engkau tentu lelah, ya? Engkau mengantuk? Tidurlah manis, tidurlah nyenyak. Biar aku menjagamu...."

Kemudian matanya terbelalak, seolah-olah ia baru tahu bahwa kekasihnya yang disangkanya tidur itu tak bernapas lagi dan, ia menggerak-gerakkan bibir tanpa ada suara yang keluar! Kemudian ia mengeluh dan merintih, seperti anak kecil kebingungan, diguncang-guncangnya pundak Kim Hwa, dan terdengar keluhannya,

"Kim Hwa, engkau.... engkau mati....? Ah, mana bisa.... engkau.... aduuhhh.... engkau benar-benar mati? Kim Hwa....!"

Untuk kedua kalinya tubuhnya terguling roboh pingsan sambil mendekap tubuh dara itu yang masih hangat namun yang sudah tak bernyawa lagi.

Sepasang mata Kam Liong menjadi basah. Ia mengangguk-angguk dan berkurang banyaklah kemarahannya terhadap Suma Hoat. Jadi begitukah, pikirnya. Ternyata ada jalinan cinta kasih yang demikian mendalam antara mereka. Ketika ia melirik, ia melihat wajah Ciok Khun pucat sekali dan air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya. Juga bangsawan Thio dan adiknya termangu-mangu, terharu menyaksikan kelakuan Suma Hoat. Kam Liong merasa tidak enak hatinya, dan ia melangkah mundur, tak tahu harus berbuat apa. Suma Hoat siuman kembali, lalu menangis mengguguk, dan menciumi bibir itu, merintih-rintih dan memohon supaya kekasihnya suka bicara, suka membuka mata, diciumnya mata dan bibir itu sampai akhirnya ia yakin bahwa bibir itu tidak membalas ciumannya, mata itu tidak lagi memandang mesra melainkan terus terpejam.

"Kim Hwa, engkau mati! Engkau membunuh diri.... tidak! Engkau dibunuh"

Tiba-tiba Suma Hoat membalikkan tubuh dan memandang kepada tiga orang itu dengan mata liar. Agaknya baru sekarang ia melihat kehadiran Bangsawan Thio dan adiknya, dan ayah Kim Hwa. Kemarahannya meluap.

"Kim Hwa, engkau dibunuh! Mereka inilah yang membunuhmu! Aku akan membalas kematianmu, Kim Hwa kekasihku. Aku akan membalas dendam!"

Tiba-tiba ia menerjang maju, kedua tangannya bergerak memukul dengan pukulan maut yang amat kuat ke arah Bangsawan Thio adiknya.

"Bressss!"

Tubuh Suma Hoat terlempar ke belakang dan roboh terguling. Pukulan kedua tangannya tertangkis oleh dengan Menteri Kam Liong yang kini melangkah maju dengan pandang mata bengis. Suma Hoat terkejut bukan main, cepat menggulingkan tubuhnya di lantai meloncat bangun, siap menerjang lawan yang tangguh itu! Akan tetapi ketika ia melihat bahwa lawannya itu adalah Menteri Kam Liong, seketika lemas kedua kakinya. Ia memandang pekhunya, air matanya bercucuran dan lututnya menjadi lemas sehingga ia jatuh berlutut, mulutnya berkata serak.

"Pek-hu, harap bunuh saja saya yang celaka ini...."

Menteri Kam Liong melangkah maju, tangannya mencengkeram pundak Suma Hoat dan sekali menarik, tubuh Suma Hoat sudah berdiri lagi.

"Laki-laki macam apa engkau ini? Beginikah sikap seorang gagah perkasa? Lemah melebihi wanita! Cengeng dan sesat!"

Suma Hoat masih menangis, menengok ke arah pembaringan dan tangisnya makin mengguguk.

"Pek-hu...."

Ia terengah-engah.

"....lebih baik saya mati.... saya... mencinta Kim hwa.... mengapa Pek-hu melarang? Mengapa semua orang melarang? Aku dan dia sudah saling mencintai Tuhan pun tidak melarangnya! Mengapa kalian mengganggu kami....? Huhu-huuukkkk!"

Suma Hoat menangis seperti anak kecil, menunduk di depan uwanya. Kam Liong mengeraskan hatinya dan menggerakkan tangan kiri menampar.

"Plakk!"

Pipi kanan Suma Hoat ditatapnya sehingga pemuda itu terkejut sekali, membelalakkan mata penuh penasaran. Lega hati Kam Liong karena memang itulah yang dikehendakinya, agar bangkit kembali semangat pemuda ini.

"Dengar kau, Suma Hoat! Seorang laki-laki sejati lebih mementingkan kebenaran daripada nyawa dan apapun juga di dunia ini! Apa artinya cinta kalau melanggar kebenaran? Bencana yang menimpa ini adalah gara-gara kelemahan hatimu! Bukan mereka yang menyebabkan kematian nona ini, melainkan engkaulah! Engkau yang membunuhnya dengan perbuatanmu. Mengerti?"

Pemuda itu terbelalak memandang pek-hunya, penuh penasaran.

"Akan tetapi, Pek-hu! Dia mencintaiku....., kami saling mencinta dan bersumpah untuk...."

"Diam! Tidak mungkin cinta tumbuh tanpa tanggapan kedua pihak! Tak mungkin tunas cinta dapat bersemi tanpa pupuk pihak lawan! Engkau sudah tahu bahwa dia telah menjadi tunangan orang lain, namun engkau yang lemah ini telah menanggapi cintanya! Kalau engkau tidak melayaninya, aku yakin bahwa dia tidak akan mencintamu! Perbuatanmu itu merupakan pelanggaran besar, mencemarkan nama keluarga kita! Dan yang lebih dari itu, engkaulah yang menyebabkan kematian nona ini yang sudah terlanjur mencintaimu! Dan engkau masih hendak menyalahkan orang lain yang tidak berdosa? Hemm, biarlah peristiwa ini menjadi pelajaran pahit bagimu agar tidak terlalu menurutkan nafsu, pandai mengekang nafsu dan menyalurkannya melalui kebenaran, tidak membuta dan sesat! Pergilah sebelum urusan ini tersiar luas. Pergilah!"

Bentakan terakhir ini mengandung ancaman hebat dan Suma Hoat mengeluh, kemudian dengan lemas ia meloncat keluar melalui langit-langit dan genteng. Semua orang di dalam kamar itu masih tertegun menyaksikan peristiwa itu dan terdengarlah suara Suma Hoat di atas genteng suara yang mengandung isak, suara yang parau bercampur suara rintikan hujan.

"Perempuan....! Aku benci....! Cinta perempuan palsu semua! Yang murni hanya Kim Hwa, akan tetapi dia pun meninggalkan aku! Aihhh, benci aku....! Benci aku....! Benci.... !"

Suara itu makin menjauh. Kam Liong menghela napas panjang, hatinya penuh kekhawatiran kalau mengenangkan keadaan Suma Hoat. Diam-diam ia merasa heran mngapa seorang pemuda yang ia tahu berwatak mata keranjang dan suka mengobral cinta di antara pelacur-pelacur tinggi, sekarang dapat jatuh cinta seperti itu terhadap seorang gadis.!

Melihat keluarga itu berduka dan berkabung, Menteri Kam Liong pun berpamit, disepanjang jalan menyesali nasib keluarganya. Setibanya di rumah, Suma Hoat jatuh saklt. Dia diserang demam tinggi, setiap hari mengigau dan menyebut-nyebut nama Kim Hwa, kadang-kadang memaki-maki semua perempuan yang disebutnya tidak setia, bercinta palsu dan lain-lain. Sampai sebulan lebih Suma Hoat jatuh sakit, tidak sadar akan keadaan sekelilingnya. Ayahnya, Panglima Suma Kiat yang amat menyayang putera tunggalnya, tentu saja menjadi bingung dan mengundang semua tabib yang ahli untuk mengobati puteranya. Pada suatu malam, Suma Hoat sadar dari tidurnya. Dia sudah mulai sembuh dan mulai sadar, tanpa membuka matanya ia mengenangkan semua persitiwa yang menimpanya terkenang kembali kepada Kim Hwa. Dia mengeluh panjang dan berkata lirih,

"Semua perempuan palsu cintanya, yang murni pun tidak setia, malah meninggal pergi!"

Tiba-tiba terdengar suara halus di dekat pembaringan.

"Tidak semua perempuan palsu cintanya, Suma Hoat. Betapa mudahnya meminta seorang pemuda seperti engkau. Aku pun.... kalau diberi kesempatan....!"

Jari tangan yang halus menyentuh dahinya dengan mesra, dan saputangan yang harum dipergunakan oleh jari-jari itu mengusap peluh di dadanya.

Suma Hoat membuka mata, terbelalak menandang wajah seorang wanita yang amat cantik, wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi yang luar biasa cantiknya! Cantik melebihi Kim Hwa! Muka yang halus itu kemerahan, matanya bergerak-gerak lincah penuh pengertian, mulutnya seolah-olah selalu menantang cium! Wanita yang matang, menggairahkan, dan gerak-geriknya menunjukkan seorang ahli silat! Wanita cantik jelita yang tidak dikenalnya, namun yang jelas kini merayunya dengan sikap dan kata-katanya, terutama sekali dengan sinar matanya yang penuh nafsu, yang seolah-olah hendak menelanjanginya!

"Kau.... siapakah....?"

Suma Hoat bertanya diam-diam kagum melihat wajah itu.

"Aku? Namaku Bu Ci Goat, aku.... baru setengah bulan di sini, Aku selir ayahmu yang paling baru."

"Oohhh....!"

Tanpa disadari, seruan ini mengandung kekecewaan.

"Mengapa? Tidak girangkah engkau mempunyai seorang ibu muda baru seperti aku?"

Bu Ci Goat mendekatkan mukanya hingga hampir menyentuh hidung Suma Hoat yang mencium bau harun sekali. Jantungnya berdebar dan ia menegur.

"Kalau engkau selir Ayah, mengapa di sini? Mau apa?"

Wanita itu tersenyum dari memegang tangan Suma Hoat.

Posting Komentar