“Ah, orang muda yang gagah. Bertanding dengan dasar hati benci jauh sekali bedanya dengan bermain-main dengan dasar hati kagum. Harap saja engkau tidak salah paham dan tidak mengecewakan hatiku.” “Kwan Bu...! Aduhh, Kwan Bu anakku!” Semua mata memandang terutama sekali Kwan Bu menoleh dan memandang dengan mata terbelalak. Ibunya! Ibunya yang kini tampak tua sekali, mata yang tinggal satu itu memandang sayu, rambutnya kusut tak tersisir, pakaiannya juga kusut tidak karuan. Jantungnya seperti di tusuk pedang dan ia sejenak mengejap-ngejapkan matanya untuk mencegah keluar air matanya. Dengan suara serak ia memanggil,
“Ibuuu. !” Dan berlari menghampiri wanita itu.
“Kwan Bu, ahh, Kwan Bu akhirnya kau datang juga !” Kwan Bu yang menjatuhkan diri berlutut di
depan ibunya, dipeluk dan didekap kepalanya oleh wanita itu, ditekan ke dada. Tiba-tiba Bhe Ciok Kim, wanita itu tertawa bergelak, suara ketawanya mendirikan bulu roma dan ia terguling. Kwan Bu cepat menyambut dan memeluk ibunya yang pingsan itu. Bu Keng Liong yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya, berbisik.
“Kwan Bu, bawa ibumu ke kamarnya, sudah lama ia menderita sakit ingatan karena memikirkan engkau?” Kwan Bu terharu sekali, mengangguk, kemudian memondong ibunya yang pingsan membawanya masuk ke dalam gedung terus ke belakang, ke kamar ibunya yang tentu saja amat dikenalnya. Ia tahu bahwa ibunya roboh pingsan karena terlalu girang, maka setelah merebahkan tubuh ibunya ke atas pembaringan, ia lalu mengurut jalan darah di tengkuknya dan tak lama kemudian wanita itu sadar. Mereka berpelukan dan Kwan Bu membiarkan ibunya menangis terisak- isak untuk melepaskan rasa rindu yang bertahun-tahun menyesak di dada sehingga mengganggu ingatan orang tua ini.
Melihat keadaan ibunya, makin sakit hati Kwan Bu terhadap musuh yang telah membuat ibunya menderita, yang menurut ibunya telah membunuh semua keluarga ibunya, kakeknya, neneknya, ayahnya, bahkan yang telah menusuk mata kiri ibunya dengan jarum yang sampai kini ia simpan dalam saku bajunya. Teringat akan semua ini, membuat ia teringat pula akan percakapan tiga orang muda murid majikannya. Mereka itu, atau lebih tepat lagi Siang Hwi, mengatakan bahwa dia adalah seorang anak haram, bahwa ibunya masih gadis ketika mengandung dirinya, bahwa ibunya tidak pernah bersuami! Dan kini ibunya mengatakan bahwa ia mempunyai ayah, dan ayahnya terbunuh oleh penjahat yang membikin buta mata ibunya pula.
Hatinya makin perih dan ingin sekali ia mendesak ibunya agar suka mengaku terus terang. Ingin mengetahui siapa sebenarnya ayahnya, dan apakah benar-benar ia seorang anak haram? Dia tidak malu menjadi anak haram, hanya dia ingin mendapat kepastian dari ibunya. Mengapa mesti malu menjadi anak haram? Haram atau tidak, dia tidak bersalah apa-apa. Dan ia percaya bahwa andaikata ibunya mengandung dia tanpa suami yang sah, tentu sekali ada sebab-sebab yang memaksanya. Ia tak percaya bahwa ibunya adalah wanita yang suka melanggar kesusilaan. Akan tetapi keadaan ibunya yang lemah lahir batin itu, membuat ia tidak tega untuk mendesaknya. Ia kini menjaga ibunya yang sudah sadar dan yang saking girangnya menjadi semakin lemah dan kini tertidur dengan tangan memegang tangan puteranya erat-erat.
Bibir ibunya tersenyum dalam tidurnya. Kwan Bu yang memandang ibunya penuh perhatian, dengan bangga mendapat kenyataan bahwa ibunya sesungguhnya adalah seorang wanita yang cantik sekali. Bentuk wajahnya, hidungnya, mulutnya, amatlah indah. Hanya kebutaan matanya yang mendatangkan cacat. Sementara itu, pesta di luar masih berlangsung terus dengan meriah. Ya Keng Cu dan empat orang kawannya sudah sejak tadi meninggalkan tempat itu setelah berpamitan dari Bu Taihiap sebagai seorang sahabat. Setelah para tamu pulang semua barulah Bu Keng Liong dan isterinya menemui Kwan Bu. Melihat kedatangan majikannya Kwan Bu segera meninggalkan ibunya yang masih tidur dan berlutut di depan majikan itu. “Hamba menghaturkan terima kasih kepada thai-ya berdua yang telah merawat ibu selama hamba tidak berada di sini. Budi kebaikkan thai-ya berdua takkan hamba lupakan seumur hidup hamba.” Bu Keng Liong terkejut dan cepat mengangkat bangun pemuda itu, lalu menarik tangan Kwan Bu diajak keluar dari kamar dan duduklah mereka bertiga di ruangan tengah. Setelah menghela napas Bu Taihiap berkata.
“Kwan Bu, tidak perlu kau bersikap begini merendah. Tidak ada penanaman budi, dan kalau mau bicara tentang pertolongan, engkaulah yang tadi telah menolong keluarga kami dari penghinaan, mungkin kebinasaan. Tentang ibumu, ahhh.... sesungguhnya kami harus merasa malu sehingga keadaan ibumu sedemikian rupa. Akan tetapi kami tidak berdaya........” pendekar tua itu kembali menghela napas.
“Kwan Bu, kami sudah berusaha menghibur ibumu, akan tetapi sejak kau menghilang, ibumu selalu tenggelam ke dalam kedukaan sehingga akhirnya mengganggu jiwanya.” Sambung nyonya Bu dengan suara halus. Kwan Bu menundukkan mukanya,
“Hamba sudah dapat menduganya, harap jiwi tidak berkecil hati. Memang sudah menjadi kesalahan hamba sendiri yang pergi tanpa pamit kepada ibu, akan tetapi karena hamba ingin sekali belajar ilmu silat dan kebetulan bertemu dengan suhu, maka terpaksa hamba pergi diam-diam.” Pemuda itu lalu menceritakkan semua pengalamannya. Tahulah kini Bu Keng Liong mengapa pada malam hari sepuluh tahun yang lalu Ya Keng Cu tidak muncul. Kiranya Pat-jiu Lo-koai yang mengusir tosu itu. Kembali ia menghela napas berulang-ulang setelah Kwan Bu selesai menuturkan riwayatnya sejak sepuluh tahun yang lalu.
“Sesungguhnya bahwa betapa pun manusia berusaha hanya Thian yang akan menentukannya. Aku yang berusaha sekuatnya agar engkau tidak dapat belajar ilmu silat, ternyata malah engkau mendapatkan guru yang sepuluh kali lebih pandai daripada aku. Ini namanya nasib dan sudah ditakdirkan oleh Thian.” Kwan Bu teringat akan sikap Bu Taihiap ini dahulu, yang melarangnya belajar silat, malah menganjurkan belajar ilmu surat dan sengaja memanggil guru. Kemudian ia teringat pula akan kata-kata Siang Hwi bahwa dia adalah anak haram dan bahwa gadis itu mendengar penuturan Bu Taihiap tentang rahasia ibunya. Mungkin ibunya takkan mengaku, atau mungkin hal itu akan melukai hati ibunya. Sekaranglah saatnya ia mencari tahu, dan agaknya majikannya ini yang akan dapat membuka rahasia ibunya.
“Kedatangan hamba ini sebetulnya hendak mengajak ibu pergi dari sini karena hamba merasa bahwa tidaklah patut kalau hamba dan ibu mengganggu keluarga thai-ya lebih lama lagi. Akan tetapi sebelum hamba pergi bersama ibu, hamba mohon sukalah thai-ya memberi keterangan kepada hamba karena sesungguhnya hanya thai-ya yang agaknya dapat membuka rahasia ini.”
“Hemmm, sikapmu terlalu merendahkan diri, orang muda. Kami sekeluarga tidak pernah mengusir, bahkan menganggap ibumu seperti anggota keluarga sendiri. Akan tetapi, tentu saja kami tidak berhak menahan kalian. Adapun tentang keterangan itu, hal apakah yang kau maksudkan?”
“Tidak lain tentang diri hamba sendiri. Ceritakanlah, thai-ya, benarkah bahwa ibu tidak pernah bersuami? Bahwa hamba adalah seorang anak haram?” sepasang mata pemuda itu memandang tajam ke arah wajah kedua orang majikannya. Nyonya Bu segera menundukkan mukanya yang menjadi merah. Bu Keng Liong mengerutkan alisnya, mengelus jenggot lalu menggeleng kepalanya.
“Kwan Bu, aku adalah seorang laki-laki sejati. Bukan menjadi watakku untuk membongkar rahasia orang lain, apalagi yang menyangkut kehormatan orang, dalam hal ini ibumu sendiri. Tentang urusan itu, lebih baik kalau kau bertanya sendiri kepada ibumu, tentu saja pada saat yang tepat. Nah, kau mengasolah dan besok kita bicara lagi kau perlu menjaga ibumu.” Setelah berkata demikian, suami isteri itu meninggalkan Kwan Bu yang tidak berani mendesak. Pemuda inipun kembali ke kamar ibunya. Ibunya masih tidur nyenyak. Malam itu Kwan Bu duduk menjaga ibunya dengan hati gelisah.
Begitu ditanya tentang ibunya, Bu Keng Liong berubah sikapnya, menjadi dingin dan kelihatannya khawatir. Rahasia apakah yang terselip pada dirinya? Ibunya masih lemah batinnya, kalau diguncangkan dengan pertanyaan ini tentu berbahaya. Ia teringat akan Siang Hwi. Gadis itu telah mendengar dari ayahnya tentang ibunya! Ya, lebih baik mencari nona Siang Hwi dan bertanya kepadanya. Kwan Bu keluar dari kamarnya. Ia tahu di mana adanya kamar Siang Hwi, tahu pula di mana adanya kamar Liu Kong dan Kwee Cin. Akan tetapi bagaimana ia dapat bertemu dengan nona itu? Mendatangi kamarnya adalah perbuatan yang tidak sopan dan ia sama sekali tidak berani melakukan hal ini. Ia menjadi gelisah dan bingung. Sepuluh tahun yang lalu, ketika ia masih terhitung kanak-kanak dan menjadi bujang di sini,
Tentu saja lebih banyak kesempatan baginya untuk mendatangi kamar Siang Hwi, dengan dalih membersihkan ini itu, menyapu lantai dan sebagainya. Akan tetapi sekarang, nona itu telah menjadi seorang dara yang telah dewasa dan cantik jelita, dan dia bukan kanak-kanak lagi. Dengan ginkangnya yang luar biasa, tubuh Kwan Bu berkelebat keluar tanpa menimbulkan sedikit pun suara. Ketika lewat di depan jendela kamar majikannya, ia mendengar majikannya bercakap-cakap perlahan, namun bagi telinganya yang terlatih sudah cukup keras. Bukan menjadi watak Kwan Bu untuk mengintai atau mendengarkan orang lain bercakap-cakap, akan tetapi oleh karena ia menduga bahwa mereka mempercakapkan dia dan terutama sekali karena ingin mendengar rahasia ibunya yang mungkin dijadikan buah percakapan itu, ia berhenti dan mendengarkan.
“Dia anak yang baik sekali... aku kelak akan mati meram kalau anak kita mendapatkan suami seperti Kwan Bu..?” terdengar suara Bu Keng Liong. Wajah Kwan Bu mendadak menjadi merah dan jantungnya berdebar keras. Tak salahkah pendengarannya? Betapa mungkin dia sebagai bujang hendak dijodohkan dengan nona majikannya? Mungkin atau tidak, kalau hal itu terjadi, ia seperti kejatuhan bulan! Sejak masih kecil ia amat mengagumi dan menyukai Siang Hwi!
“Betapa mungkin?” Terdengar suara nyonya Bu yang seakan-akan mewakili hati Kwan Bu sendiri yang membantahnya.
“Betapa mungkin anak kita yang tunggal itu kita jodohkan dengan seorang anak haram ?” Wajah
Kwan Bu yang merah menjadi pucat, mulutnya menggetar dan ia menundukkan mukanya. Namun di balik rasa perih di hatinya, ia menjadi tegang, mengharapkan bahwa percakapan selanjutnya akan menjelaskan tentang “kebenarannya” itu. Bu Taihiap menghela napas panjang.
“ltulah soalnya, apalagi setelah Kong ji (anak Kong) yang lancang mulut memakinya di depan umum. Aahhh, anak kita sudah cukup dewasa, tahun ini sudah berusia Sembilan belas tahun! Pandanganku tidak ada lain selain Kong ji dan Cin ji, dan anaknya Siang Hwi sendiri masih bingung dalam memilih. Kedua orang anak itu memiliki kebaikan masing-masing. Cin ji peramah, halus dan periang. Kong ji sebaliknya kaku, kasar, namun jujur dan memiliki sifat berani dan gagah. Ahhh, susahnya mempunyai anak perempuan. ”
“Mengapa susah-susah? Kita pilih di antara mereka, tentukan perjodohan dan habis perkara..?” “Aaahhh. mana bisa begitu? Biarkan Siang Hwi sendiri yang memilih. Dia anak keras hati, kalau
kita yang memilihkan dan kelak tidak kebetulan, tentu dia akan terus menerus menyalahkan kita ”
Kwan Bu tidak mau melanjutkan pendengarannya. Ia berkelebat pergi dari situ. Hatinya bingung. Bagaimana mungkin ia menjumpai Siang Hwi? Karena ragu-ragu dan bingung, ia lalu menyelinap ke dalam taman bunga yang cukup luas dari keluarga Bu. Malam itu bulan mulai muncul. Cahayanya menyinari dalam taman, membuat tempat itu menjadi cahaya keemasan dan menjadi amat indah! Teringat Kwan Bu betapa dahulu ia setiap hari membersihkan taman ini, dan di balik pohon bunga itu ia dahulu suka mengintai apabila Siang Hwi, Liu Kong dan Kwee Cin berlatih silat.
“Kwan Bu..?” Kwan Bu terkejut. Karena ia tadi melamun di bawah pohon, mengenangkan masa lalu, ia sampai tidak tahu bahwa Siag Hwi telah berada di belakangnya, mendengar suara ini, ia cepat bangkit, memutar tubuhnya menghadapi gadis itu dengan hati girang.