“Bocah pelayan, jangan mengira bahwa pinto Koai-kiam Tojin Ya Keng Cu suka menghina orang muda terutama sekali seorang pelayan! Akan tetapi kalau hari ini pinto melayanimu adalah mengingat bahwa engkau adalah murid dan wakil Pat-jiu Lo-koai. Nah, kau mulailah!” sambil berkata demikian, Ya Keng Cu menggerakkan pedangnya, dilintangkan di depan dada. Gerakan yang sedikit ini saja sudah menimbulkan suara berdesing dari pedangnya dan tampak sinar merah berkelebat. Makin berdebar hati penonton. Akan tetapi dengan sikap tenang, Kwan Bu berkata.
“Dan teman-temanmu ini sebetulnya bukan dari golongan kaum sesat, melainkan tokoh-tokoh kang- ouw yang biasa membela kebenaran dan keadilan, pemberantas kejahatan. Akan tetapi kalian sedang dimabok politik dan nafsu kebencian kepada kaisar, maka sekali ini terpaksa aku mewakili suhu memberi pelajaran kepadamu!” Ucapan ini sungguh “besar” dan bagi Ya Keng Cu terdengar amat sombongnya. Maka dengan seruan keras tosu ini sudah menerjang maju. Sinar pedangnya berkelebat menyambar. Kwan Bu dengan tenangnya menggerakkan pedang menangkis.
“Cringgg......!” Banyak penonton yang menjadi sakit telinganya mendengar suara ini, amat nyaringnya, melebihi berkerincingnya emas dan perak. Tosu itu merasa betapa ujung-ujung jari tangannya yang memegang pedang tergetar. Kagetlah ia dan tahu bahwa biarpun hanya berlatih sepuluh tahun, namun pemuda ini sudah menguasai intisari tenaga ginkang dan ilmu silat tinggi, maka ia makin berhati-hati.
“Lihat pedang!” teriaknya dan kini ia benar-benar menyerang dengan jurus-jurus ilmu pedang yang amat luar biasa gerakannya. Pedangnya lenyap menjadi sinar pedang yang bergulung-gulung, berwarna merah jambon, dan mengeluarkan angin keras yang berbunyi.
“Wirrr!.... Wirrr!” seperti sebuah kitiran angin. Sinar merah muda ini melingkar-lingkar dan mengurung Kwan Bu yang bergerak tenang. Mula-mula para penonton melihat betapa pemuda itu masih berdiri, hanya berloncatan ke sana ke mari dengan pedang digerakkan menangkis. Indah sekali pemandangan di saat itu. Mereka tidak melihat lagi si tosu, hanya melihat Kwan Bu membuat gerakan seperti orang menari dan karena sinar pedang merah muda itu melingkar-lingkarnya,
Maka ia tampak seperti seorang penari selendang merah! Hanya suara berdencing-dencing yang mengakibatkan bunga api muncrat berhamburan saja yang membuat para penonton ingat bahwa yang mereka tonton bukanlah tarian, melainkan pertandingan adu nyawa yang menegangkan! Kemudian, pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking keras dan tampaklah sinar pedang yang merah sekali, merah darah yang bergulung-gulung dan membuat lingkaran lebih besar dari pada lingkaran sinar pedang merah muda. Tubuh pemuda itupun kini lenyap terbungkus sinar pedang dan pemandangan kini menjadi lebih hebat dan indah. Yang tampak hanya dua gulungan sinar pedang, saling belit dan saling gulung, hanya jelas tampak betapa gulungan sinar pedang merah muda makin lama makin sempit dan kecil! “Ah, bukan main anak itu...!” Bu Taihiap berbisik dan memandang kagum. “Aku sendiri belum tentu dapat menandingi Koai-kiam Tojin, akan tetapi dia...!” Setelah lewat hampir seratus jurus, tiba-tiba dari dalam itu terdengar lagi suara Kwan Bu melengking tinggi dan,
“Cringgg... Tranggg...!!” Bunga api muncrat-muncrat menyilaukan mata dan secara tiba-tiba saja dua gulungan sinar merah itu lenyap dan tampaklah Ya Keng Cu terhuyung-huyung mundur, pedang masih di tangan, akan tetapi tangan kirinya memegang jubahnya yang bagian depannya sudah robek dari atas ke bawah dan tampak sedikit darah mengalir dari dadanya yang tergores ujung pedang sehingga kulitnya pecah! Wajah tosu ini pucat sekali. Hanya dia, Kwan Bu dan para ahli silat di situ yang melihat betapa Kwan Bu telah mengampuninya, karena kalau pemuda itu menghendaki, bukan hanya kulitnya yang tergores, melainkan juga isi dadanya! Ya Keng Cu sambil meringis lalu berkata,
“Murid Pat-jiu Lo-koai benar lihai, pinto menerima kalah!” Meledaklah tepuk tangan dan sorak sorai para tamu. Bahkan Kwee Cin sampai bangkit dari tempat duduknya, bertepuk tangan sambil tertawa-tawa seperti penonton pertandingan sepak bola yang menang taruhan!
Ketika menarik tangannya, barulah Kwee Cin duduk kembali. Siang Hwi juga tersenyum-senyum dan kini pandang matanya terhadap Kwan Bu jauh berlainan daripada yang sudah-sudah. Ada rasa kagum dan heran bercampur rasa menyesal pada pandang matanya. Bu Keng Liong berbisik kepada isterinya dan wajah merekapun berseri gembira. Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suling dan dibarengi sinar putih perak yang mengembang di atas kepala Yo Ciat. Kiranya kakek ini sudah maju memutar-mutar pedang di atas kepala sehingga pedang itu berubah menjadi bentuk payung perak di atas kepalanya dan mengeluarkan bunyi seperti suling ditiup! Kakek tua ini menghentikan gerakan pedangnya dan tampaklah sebatang pedang yang putih kemilau seperti perak di tangannya.
“Orang muda, engkau tidak kecewa menjadi wakil Pat-jiu Lo-koai. Siapakah namamu?” Kwan Bu yang baru sekali ini bertemu dengan Ban-eng-kiam Yo Ciat, menjura dengan hormat dan berkata,
“Locianpwe, saya bernama Bhe Kwan Bu. Saya harap saja seorang locianpwe seperti Ban-eng-kiam Yo Ciat, yang nama besarnya sudah tersebar di empat penjuru dunia sebagai seorang tokoh pembela kebenaran, tidaklah berpemandangan sepicik Ya Keng Cu totiang. Pertandingan antara dua golongan yang sama-sama menjunjung kegagahan dan memberantas kejahatan, tidak perlu dilanjutkan. Setujukah locianpwe?”
“Ha-ha-ha, sebagai seorang muda belia, omonganmu mengandung kebenaran dan kejujuran. Ketahuilah bahwa kami golongan pejuang penantang kaisar, bukanlah orang-orang yang tak tahu aturan. Kalau kami berkeras dalam hal urusan keturunan Liu, adalah karena Liu Ti telah menjatuhkan banyak sekali korban di antara golongan kami, dengan menunjukkan markas dan tempat persembunyian kami kepada pasukan-pasukan istana, dia telah menyebabkan kematian ribuan orang pejuang! Bayangkan saja, kalau kemudian kami berusaha membasmi seluruh keluarganya, bukankah ini sudah adil namanya?” Diam-diam Kwan Bu terkejut. Tidak disangkanya bahwa urusan itu sampai sedemikian hebatnya. Pantas saja golongan penentang kaisar mati-matian memusuhi Bu Taihiap yang dianggap melindungi keturunan Liu Ti. Juga Bu Keng Liong kaget karena hal ini tak pernah didengar dan disangkanya.
“Semua ucapan locianpwe memang benar belaka. Akan tetapi, keluarga Liu Ti sudah terbasmi dan kalau kebetulan saja seorang anak kecil lolos dari pembunuhan, bukankah itu sudah dikehedaki Thian namanya? Tentu saja sebagai seorang gagah Bu Taihiap tidak akan membiarkan seorang anak yang tak tahu apa-apa dibunuh, padahal anak itu berada di dalam perlindungannya. Kalau Bu Taihiap menjadi takut dan menyerahkan anak itu, pantaskah dia disebut seorang Pendekar Besar? Harap locianpwe sudi memahami hal ini dan memandang wajah Bu Taihiap serta suhu yang kuwakili, suka menghabiskan permusuhan-permusuhan yang tiada artinya ini.” Lima orang lawan itu tertegun dan termenung mendengar uraian Kwan Bu. Mereka saling pandang bukan karena jerih terhadap Kwan Bu, melainkan kaena ucapan itu menimbulkan kesan mendalam sekali di hati mereka.
“Hemm kalau dipikir panjang memang tidak salah ucapannya itu!” kata Yo Ciat berpaling kepada
Ya Keng Cu.
“Bagaimana pendapatmu to yu (sahabat)?” Ya Keng Cu mengangguk, juga Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu. Maka tertawalah Yo Ciat.
“Ha-ha-ha! Bu Taihiap, tidak disangka bahwa di rumahmu bersembunyi seorang pendekar muda yang hebat! Mengingat akan kebenaran ucapannya juga memandang wajah taihiap serta mengingat pula akan sahabat yang lebih tinggi kedudukannya Pat-jiu Lo-koai, kiranya kami tidak melanggar golongan kami kalau kami nyatakan mulai sekarang, putera Liu Ti tidak lagi termasuk sebagai musuh kami. kecuali tentu saja, kalau kelak ia menjadi penjahat atau penjilat kaisar seperti ayahnya”. Liu Kong berteriak marah.
“Aku tidak sudi dibela anak haram. !”
“Liu Kong! Diam kau!!” Bu Keng Liong membentak, matanya melotot marah sekali kepada muridnya itu. Liu Kong mendengus, tidak berani bicara lagi akan tetapi diam-diam lalu pergi dari situ, masuk ke dalam taman di pinggir gedung. Kwee Cin dan Siang Hwi lalu mengikuti suheng itu, setelah mereka lempar pandang kepada Kwan Bu dan anak pelayan ini menangkap girang dan senyum dan seri wajah mereka.
“Locianpwe Yo Ciat sungguh seorang gagah berpemandangan luas,” kata Kwan Bu. “Dapat menghargai kata-kata seorang pelayan, seorang anak haram..?
“Kwan Bu !!” Bu Taihiap berseru, hatinya terharu. Akan tetapi Kwan Bu pura-pura tidak mendengar
seruan ini dan pada saat itu memang para tamu mulai berisik membicarakan pengakuan itu. Pengakuan yang hebat. Anak haram! Pemuda yang tadinya dianggap pelayan dan kemudian meningkat dalam pandangan mereka sebagai seorang pendekar yang sakti, kini mengaku sebagai anak haram setelah berkali-kali dimaki anak haram oleh murid Bu Taihiap!
“Bhe Kwan Bu, biar pun sekarang permusuhan telah dihabiskan, namun karena tertarik melihat ilmu pedangmu tadi, sukalah kau orang muda memuaskan hatiku untuk bermain-main denganku sebentar”
“Yo-locianpwe, suhu pernah memberi tahu kepada saya bahwa ilmu silat bukan sekali-kali dimaksudkan untuk menyombongkan diri, atau pamer, ataupun mencari kemenangan dan kekuasaan. Oleh karena itu, setelah kini urusan perselisihan paham dapat diredakan dan dihapuskan, mengapa locianpwe hendak mengadu kepandaian? Biarlah, disaksikan oleh semua yang hadir di sini, saya mengaku kalah terhadap Yo-locianpwe, maupun terhadap kedua totiang!” Mendengar ucapan pemuda itu dan melihat betapa Kwan Bu benar-benar memberi hormat mengaku kalah, di dalam hatinya Yo Ciat makin kagum. Sukar di dunia ini dicari orang yang begini rendah hati, apalagi berkepandaian begini tinggi dan berusia begini muda. Akan tetapi ia masih penasaran karena ia benar-benar ingin mencoba ilmu pedang pemuda yang demikian hebatnya, maka ia membantah.