Halo!

Dendam Si Anak Haram Chapter 19

Memuat...

“Siocia (Nona) kutotok mereka, ya?” Kwan Bu yang sudah meloncat bangun menghadapi Siang Hwi bertanya kepada gadis itu, tidak memperdulikan kedua lawannya yang mendengus-dengus marah seperti dua ekor babi hutan terluka.

Siang Hwi kini sudah keheranan setengah mati, tak dapat menjawab, apalagi takut kepada ayahnya, dan hanya mengangguk-angguk dan matanya terbelalak karena khawatir kini melihat dua orang lawan itu sudah menerjang dengan dahsyat sekali dari belakang tubuh Kwan Bu. Gerakkan mereka cepat bukan main sehingga dua batang golok di tangan mereka itu berubah menjadi sinar menyilaukan. Akan tetapi tiba-tiba, entah bagaimana tak seorangpun dapat mengikuti, tubuh Kwan Bu melayang ke atas berjungkir-balik dan telah berada di belakang tubuh dua orang lawannya. Mereka membalik dan Kwan Bu menapaki mereka dengan kedua lengan menusuk tepat, menggunakan dua buah jari masing-masing tangan.

“Cusss! Cusss!” Dua orang lawan tepat ditotok kena sekali. Golok mereka jatuh berkerontangan dan Kam Tek tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Gan lt Bong menangis, air matanya bercucuran seperti banjir! Sejenak keadaan menjadi sunyi. Semua tamu melongo. Yang terdengar hanya suara tertawa Kam Tek dan tangis Gan lt Bong.

Kemudian disusul dengan suara ketawa Kwee Cin dan Siang Hwi. Dara itu menutupi mulutnya dan menahan ketawanya, akan tetapi Kwee Cin sampai hampir terjungkal dari kursinya karena tertawa geli. Mereka ini tahu bahwa dua orang tadi telah terkena totokan yang tepat, Kam Tek tertotok jalan darah yang membuat ia tak dapat menahan tertawa terpingkal-pingkal, dan Gan lt Bong tertotok jalan darahnya yang membuat air matanya nyerocos turun tak dapat dibendung lagi. Setelah Kam Tek tertawa terus, dan Gan It Bong menangis terus, sedangkan Kwan Bu berdiri bertolak pinggang memandang kedua lawannya dengan mata terbelalak seakan-akan terheran-heran, barulah para tamu bersorak dan tertawa-tawa. Seorang pemuda saking girang dan gelinya tertawa sambil tangannya menepuk-nepuk meja.

Meja terguling, kuah bakso yang masih penuh di mangkok, tumpah dan kuah itu menyiram celana seorang tamu setengah tua. Tamu setengah tua itu pun jengkel, akan tetapi karena ia sendiri pun kegirangan dan bertepuk-tepuk tangan, ia lalu menyambar sekepal bakso terus dijejalkan ke mulut pemuda yang berteriak-teriak itu. Saking girangnya, si pemuda sama sekali tidak marah, bahkan lalu dengan enaknya mengunyah tiga butir bakso di dalam mulutnya! Ada pula yang berguling dari bangku sambil memegangi perut, tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air mata. Koai-kiam Tojin Ya Keng Cu kaget dan marah sekali. Sekali melompat ia sudah tiba di belakang Kam Tek dan Gan lt Bong dan sekali kedua tangannya bergerak, dua orang itu dapat ia bebaskan. Mereka berhenti tertawa dan menangis, lalu mundur dengan muka sebentar marah sebentar pucat.

“Keluarga Bu ternyata bersembunyi di balik tubuh seorang pembantu dari luar yang sudah direncanakan lebih dulu! Pinto menantang Bu Keng Liong sendiri agar keluar dan mari kita mengadu tajamnya pedang. Jangan bersembunyi di balik seorang badut yang amat rendah untuk pinto layani!” Liu Kong lalu meloncat bangun.

“Siapa minta dia ini maju? Kami sama sekali tidak dilindungi oleh...... oleh. anak haram ini! Tosu

jahat, jangan kira aku takut padamu!” Liu Kong lalu mencabut pedangnya dan meledaklah suara ketawa para tamu. Liu Kong kaget dan tidak mengerti.

“Suheng.... pedangmu......!” Kwee Cin berseru. Liu Kong memandang dan mukanya pucat karena yang ia cabut dan acungkan ke atas tadi hanyalah gagang pedang saja, tidak ada pedangnya! Kwan Bu menghadap para tamu, mengangkat tangan mencegah para tamu tertawa.

“Eh, eh, cuwi sekalian harap jangan tertawa. Pedang Liu kongcu adalah pedang siluman, tentu saja tidak tampak. Akan tetapi bisa membikin putus leher tosu siluman pula.” Orang-orang makin terpingkal ketawa. Liu Kong marah sekali, hendak menerjang Kwan Bu, akan tetapi pamannya membentak marah.

“Liu Kong, mundur kau. !” Terpaksa ia mundur dengan marah.

“Anak haram! Kau anak haram. !” ia memaki Kwan Bu yang masih tersenyum-senyum. Kwee Cin

juga mencabut pedangnya yang tinggal gagangnya saja, lalu berkata sambil menahan senyum.

“Suheng, lihat, pedangku pun telah dibikin patah. Dia lihai sekali dan sengaja mematahkan pedang agar kita tidak menceburkan diri ke dalam pertempuran.”

“Dia? Dia yang mematahkan pedang?” “Siapa lagi. Dia tadi menepuk-nepuk punggung kita, ingat?” Diam-diam Liu Kong terkejut setengah mati. Menepuk punggung tapi mematahkan pedang dalam sarung pedang. Ilmu apa ini? Sementara itu, Kwan Bu menghadapi Ya Keng Cu. Sikapnya kini tidak lagi ketololan seperti tadi, melainkan tenang dan sungguh-sungguh ketika ia berkata dengan suara lantang,

“Ya Keng Cu totiang! Benar-benar engkau tak tahu malu, berani lancang mengatakan bahwa Bu Taihiap bersembunyi di balik tubuh orang luar! Hemm kalau aku seorang pelayan kau anggap orang luar, itu karena kau seorang pengecut besar yang tidak berani menghadapi lawan berat akan tetapi selalu berlagak kalau sudah menghadapi lawan yang lebih ringan! Ya Keng Cu! Dengarlah baik-baik. Orang yang kau takuti, Pat-jiu Lo-koai, hari ini tidak datang akan tetapi mewakilkan muridnya, dan akulah orangnya!” Kini Ya Keng Cu memandang penuh perhatian. Hatinya lega. Yang ia khawatirkan memang Pat-jiu Lo-koai. Kalau hanya muridnya saja ia tidak takut! Ia memandang rendah, karena sungguh pun pemuda ini telah mengalahkan dua orang Sin-to, akan tetapi tingkat kepandaian dua orang itu memang belum seberapa tingginya. Dan sepuluh tahun yang lalu anak muda ini masih seorang bocah pelayan yang tidak bisa apa-apa. Baru belajar sepuluh tahun sudah berani menentangnya yang sudah berpengalaman puluhan tahun!

“Ha-ha-ha, bocah sombong! Kiranya engkau murid Pat-jiu Lo-koai dan kini mewakili gurumu untuk menghadapi kami? Bagus sekali! Bu sicu tunggulah setelah pinto membereskan budak..?”

“Totiang! Mengapa banyak cerewet lagi? Majulah!” bentak Kwan Bu. Tangan pemuda ini bergerak dan...

“Singgg...!” entah dari mana dapatnya, tahu-tahu tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang.

Inilah pedang Toat-beng-kiam yang ia dapat dari gurunya. Melihat betapa pemuda ini tahu-tahu memegang sebatang pedang yang berwarna merah dan berkilauan saking tajamnya, semua orang melongo dan para tamu menahan napas. Mereka yang tidak mengerti ilmu silat sekalipun kini maklum bahwa pemuda yang tadi membadut itu ternyata adalah ahli silat yang pandai. Apalagi pihak tuan rumah dan lawan, tahulah mereka kini orang macam apa adanya Kwan Bu. Kwee Cin memandang dengan wajah berseri dan mulut tersenyum. Bu Siang Hwi memandang dengan melongo dan terheran-heran. Hanya Liu Kong memandang dengan kening berkerut, wajahnya membayangkan hati yang tidak puas dan penasaran. Bu Taihiap saling pandang dengan isterinya, kemudian berbisik.

“Sejak dulu aku tahu dia ini berbakat luar biasa, akan tetapi siapa mengira akan menjadi murid locianpwe yang luar biasa anehnya, Pat-jiu Lo-koai...! Hemm, betapapun juga dalam waktu sepuluh tahun, bagaimana dapat memiliki ilmu yang bisa mengalahkan lawan seperti mereka ini? Aku harus bersiap-siap. Dia membantu kita, tidak boleh kita tinggal diam saja kalau dia terancam bahaya.”

Isterinya mengangguk dan keadaan amat tegang bagi pihak tuan rumah. Mereka sendiri sudah mengaku dalam hati bahwa mereka tidak akan kuat melawan musuh-musuh itu. Kini muncul Kwan Bu yang merupakan bintang penolong tak tersangka-sangka, akan tetapi juga masih meragukan apakah pemuda ini mampu mengalahkan mereka. Ya Keng Cu melihat betapa pemuda aneh itu telah melolos pedang dari pinggang secara cepat sekali, diam-diam maklum bahwa pemuda ini tak boleh di pandang ringan. Kalau tadinya ia hendak melawan dengan tangan kosong, kini ia batalkan niatnya itu dan cepat tangannya meraba gagang pedang yang seakan-akan meloncat keluar dari gagangnya dan berada di tangannya. Ternyata pedang tosu ini berwarna merah pula, akan tetapi merah muda, tidak merah dara seperti pedang Toat-beng-kiam! Melihat ini, kembali para tamu menjadi berisik membicarakan tentang warna kedua pedang yang aneh itu. Biasanya pedang berwarna putih, atau agak kebiruan saking tajamnya. Akan tetapi, dua batang pedang ini warnanya merah! Benar-benar luar biasa sekali. Sebagian dari para tamu menduga bahwa agaknya dua orang itu sengaja mengecat pedang mereka agar kelihatan aneh dan bagus! Akan tetapi Bu Keng Liong tiba-tiba terkejut dan kagum. Ia sudah mendengar tentang besi merah yang luar biasa keras dan kuatnya, namun amat sukar didapat karena tempatnya berada di dalam tanah yang amat dalam, puluhan li dalamnya. Menurut cerita, makin merah besi itu makin tua dan kuat. Kini melihat pedang di tangan Kwan Bu warnanya merah tua jauh lebih merah daripada pedang di tangan tosu itu, ia diam-diam kagum bukan main.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment