Dendam Si Anak Haram Chapter 17

NIC

“Hemm... lilin-lilin itu dinyalakan untuk memperingati umurku. Kalau hendak dipadamkan, biarlah oleh aku sendiri!” kata Bu Keng Liong dan dari tempat ia duduk, tangan kirinya menyampok ke arah meja dan.., seketika enam puluh batang lilin menyala itu padam semua! Tepuk sorak dari para tamu menyambut perbuatan yang oleh mereka dianggap seperti sihir saja itu. Liu Kong yang tadi menekan kemarahan hatinya karena tidak ingin mengganggu gurunya menyambut tamu, kini tidak dapat menahan lagi. Ia melompat bangun dan menghampiri para tamu yang berada di tengah ruangan yang cukup luas.

“Inilah aku, Liu Kong!” bentaknya.

“Akulah putera Liu Ti yang sekeluarga kalian bunuh, aku tahu, tentu kalian yang membasmi keluarga ayah. akan tetapi, taat akan nasihat suhu, aku Liu Kong tidak akan mencampuri urusan itu, karena kata suhu kematian ayah bundaku bukan karena urusan pribadi melainkan urusan politik. akan tetapi kalau hendak menangkap atau membunuh aku, silakan aku tidak takut dan akan membela diri mati-matian!” Pemuda yang bertubuh tinggi besar dan amat gagah ini mengagumkan semua Orang. Bahkan Kwan Bu yang dulu banyak dibikin sakit hati oleh pemuda ini juga menjadi kagum. Harus ia akui bahwa Liu Kong memang laki-laki sejati, Sakit hatinya yang dulu-dulu banyak berkurang dan tanpa dibuat-buat ia sudah berpihak pada pemuda ini menghadapi tosu dan kawan-kawannya itu. Tiba-tiba terdengar suara mendengus dan Ban-eng-kiam Yo Ciat sudah melangkah maju.

“Koai-kiam biarlah aku yang menundukan dia.” Dia sudah melangkah lebar menghadapi Liu Kong yang sudah mencabut pedangnya lalu berkata menentang.

“Orang muda she Liu, engkau cukup gagah. Sayang ayahmu dulu menjadi penjilat kaisar, Kalau engkau suka membantu perjuangan kami, tidak saja kami akan mengampunimu, malah akan berterima kasih kepadamu. Tebuslah sifat buruk ayahmu itu dengan jiwa patriot.”

“Tak perlu banyak omong kosong!” bentak Liu Kong.

“Kalau hendak menangkapku. cabutlah pedangmu, orang tua!”

“Aah, aku tidak akan menghina gurumu dengan melawanmu bersenjata! Cobalah kau serang aku, orang muda, dan sebentar akan kulaporkan kepada gurumu, di mana letak kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahanmu!”

Ucapan ini bahkan amat memanaskan telinga Bu Taihiap karena terang-terangan orang tinggi kurus itu memandang rendah ilmu pedang yang ia ajarkan kepada Liu Kong! Ia mengharapkan muridnya itu berlaku cerdik dan pandai melihat gelagat, Kalau Liu Kong cerdik, setelah mendengar julukan si tinggi kurus ini, tentu dapat menduga bahwa seorang ahli pedang, maka karena lawannya tidak memegang senjata, akan baik baginya kalau ia menyimpan pedangnya dan menandingi kakek ini dengan tangan kosong, apalagi karena keistimewaan pemuda ini memang bertangan kosong, akan tetapi sayang sekali Liu Kong tidak menyimpan pedangnya, melainkan dengan marah karena menganggap ucapan itu menghinanya, lalu menggerakan pedang mulai menerjang dengan dahsyat sekali.

Akan tetapi dengan amat mudah kakek tinggi kurus itu mengelak. Tubuhnya yang panjang itu ternyata lemas sekali, meliuk ke sana ke mari seakan-akan tidak bertulang, akan tetapi selalu dapat mengelak dari sambaran pedang. Liu Kong penasaran dan mempercepat gerakan pedangnya sambil membentak keras. Kakek itu kini juga menggerakkan tubuhnya dan ternyata ia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. Tubuhnya seolah-olah menjadi asap saja dan kemana pun juga pedang menyambar, tubuh kakek itu sudah mengelak dengan mudah. Setelah menyerang sampai belasan jurus secara bertubi belum juga berhasil menyentuh ujung baju lawannya, Liu kong kaget bukan main. Kiranya kakek ini tadi bukannya main gertak belaka. Ia memperhebat desakannya dan kini mengerahkan seluruh tenaga. Tenaga pemuda ini memang besar sekali sehingga pedangnya mengeluarkan suara bersiutan dengan berubah menjadi gulungan putih,

Diam-diam Bu Keng Liong mengeluh di dalam hati. Ilmu pedang si jankung ini tentu luar biasa tangguhnya karena melihat ilmu ginkang yang begitu tinggi, tentu gerakan pedangnya lebih cepat lagi. Tidak heran julukannya Selaksa Bayangan pedang. Jangankan Liu Kong dia sendiri belum tentu dapat menangkan kakek jangkung itu. Selagi ia hendak bangkit berdiri, tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan tampak bayangan merah berkelebat disusul bayangan putih. Ternyata sekarang Siang Hwi dan Kwee Cin sudah maju membantu suheng mereka dan kedua Orang muda inipun sudah mainkan pedang mengeroyok.

“Wah-wah-wah............. ganas ” terdengar Ban-eng-kiam Yo Ciat berseru dan kakek ini sekarang

terkurung hebat dan terdesak. Betapapun lincahnya, menghadapi empat batang pedang (Siang Hwi menggunakan dua pedang), dia terdesak hebat dan cepat-cepat mencabut pedangnya sendiri. Pedang kakek itu panjang dan ketika digerakkan, terdengarlah suara mengaung yang makin lama makin nyaring sehingga terdengar seperti bunyi tiupan suling bernyanyi! Dan selain itu, kini tampak gulungan sinar putih yang lebar dan panjang, yang melingkar-lingkar seperti ular dan yang perlahan- lahan menolak desakan empat batang pedang murid-murid Bu Taihiap.

“Ha-ha-ha, kiranya Bu Taihiap yang terkenal itu hanya mengandalkan keroyokan untuk memperoleh kemenangan!” Tiba-tiba Ya Keng Cu tertawa bergelak dan mengejek. Muka Bu Keng Liong yang tadinya merah itu menjadi pucat. Ia lalu bangkit berdiri dan sekali tubuhnya berkelebat ia sudah meloncat ke pertempuran dan terdengar suara nyaring dibarengi bentakannya.

“Tahan!” Kini pedang di tangannya sudah saling tempel dengan pedang panjang di tangan Yo Ciat! Setelah melihat tiga orang muridnya mundur Bu Keng Liong juga menarik mundur pedangnya. Angin menyambar di belakangnya, membuat ia maklum bahwa isterinya juga sudah meloncat berdiri di belakangnya dengan pedang di tangan. Kini suami isteri itu bersama tiga orang muda sudah berdiri siap dengan pedang di tangan, dan berkatalah Bu Keng Liong kepada para lawannya,

“Totiang, tidak perlu banyak cakap dan banyak menyindir! Di sinilah kami berdiri berlima, Totiang pun datang berlima. Nah, terserah kepada kalian sekarang. Keputusan kami, seorang mati, semua binasa!” Kini keadaan menjadi tegang sekali dan para tamu menjadi khawatir karena maklum bahwa akan terjadi pertandingan mati-matian antara tuan rumah dan rombongan tosu itu. Juga Koai-kiam Tojin Ya Keng Cu dan teman-temannya tertegun, tidak mengira bahwa Bu Taihiap begitu nekat dan mati-matian hendak mempertahankan keponakannya. Sejenak mereka tidak dapat berkata-kata, kemudian kesunyian dipecahkan suara Ya Keng Cu yang tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, kini Bu Keng Liong kelihatan belangnya! Katakan saja bahwa kalian semua setia kepada kaisar, agar menempatkan kalian di pihak lawan dan tidak ragu-ragu lagi hati kami untuk membasmimu!”

“Terserah penilaianmu, totiang. Kami bukan pembela kaisar, juga bukan penentangnya, kami siap menghadapi apapun juga demi kebenaran! Liu Kong tidak berdosa, maka menangkapnya adalah bertentangan dengan kebenaran karena itu harus kami lawan!”

“Apa yang akan kau andaikan, Bu sicu? Engkau masih terlalu kukuh untuk bersikap gagah-gagahan dalam usiamu yang semakin tua!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring,

“Sepuluh tahun yang lalu, Koai-Kiam-Tojin Ya Keng Cu adalah seorang penakut, sekarang usianya sudah bertambah sepuluh tahun, dia ternyata menjadi panakut dan pengecut paling besar! Sungguh menjemukan!” Semua orang, terutama sepuluh orang yang saling berhadapan itu, kaget dan menengok. Kwan Bu berjalan dengan langkah perlahan memasuki ruangan itu, sikapnya tenang dan matanya memandang penuh ejekan ke arah tosu yang kini memandangnya penuh perhatian. Tiba- tiba Ya Keng Cu berubah warna mukanya, matanya melotot marah sekali, jari telunjuknya menuding dan ia membentak,

“Kau.. kau... bocah setan...... kau budak pelayan yang dulu itu, keparat...!!” Akan tetapi sambil berkata demikian, matanya lalu memandang ke sekeliling, mencari-cari karena ia menduga dengan hati kecut bahwa budak ini muncul bersama Pat-jiu Lo-koai, maka ia hari ini datang mengajak suhengnya Sin-jiu Kim-wan Yo Thian Cu dan Ban-eng-kiam, Yo Ciat. Namun Kwan Bu tidak memperdulikan tosu ini yang marah-marah kepadanya. Melainkan cepat menghampiri Bu Keng Liong dan isterinya yang memandangnya dengan mata terbelalak.

“Kwan Bu...!” Bu Keng Liong berseru kegirangan dan juga keheranan. Kwan Bu menjatuhkan diri berlutut di depan majikannya, lalu berkata,

“Maafkan hamba, yang muncul dalam keadaan begini. Harap jiwi suka kembali duduk karena hamba ada sedikit urusan yang harus diselesaikan dengan tosu bau ini.” Bu Keng Liong bertukar pandang dengan isterinya, kemudian karena tahu bahwa banyak mata memandang ke arah mereka dan bukan saatnya untuk bicara, Bu Keng Liong mengangguk dan menuntun tangan isterinya diajak kembali ke tempat duduk mereka. Kwan Bu lalu menghampiri tiga orang muda yang masih memegang pedang dan sambil tersenyum ia menjura.

“Selamat bertemu, nona Siang Hwi, Liu kongcu, Kwee kongcu. Harap sam-wi sudi duduk kembali karena urusan Liu kongcu kini ditunda. Saya mempunyai urusan dengan tosu bau itu yang harus diselesaikan dulu.” Sambil berkata demikian ia mengedipkan sebelah matanya kepada Kwee Cin. Kwee Cin tersenyum lalu menyarungkan pedangnya, Liu Kong dan Siang Hwi yang tadinya ragu-ragu terpaksa juga menyarungkan pedangnya karena melihat betapa tadi Bu Keng Liong dan isterinya mengundurkan diri. Akan tetapi mereka merasa tidak puas, apalagi Liu Kong. Mau apa budak tolol ini, pikirnya! Memalukan saja kepada keluarga Bu. Baru pakaiannya begitu butut, sikapnya ketolol- tololan! Akan tetapi dengan sikap ramah Kwan Bu menepuk-nepuk punggungnya dan berbisik,

“Kong-Cu mereka lihai sekali, biar kupermainkan.” Akhirnya tiga orang muda itupun duduk di tempat duduknya masing-masing. Sementara itu, Ya Keng Cu yang masih khawatir akan hadirnya Pat-jiu Lo- koai biarpun ia tidak melihat kakek gundul itu, berteriak kepada Bu Keng Liong. “Bagus, Bu-sicu! Kau tadi mengatakan tidak akan minta bantuan orang luar! Apakah ini ucapan seorang laki-laki yang patut dipegang?”

“Heh, tosu bau! Apa kau tidak mengerti bahwa aku pelayan keluarga Bu? Aku Bhe Kwan Bu, sejak kecil menjadi pelayan di sini, boleh kau tanya-tanya semua tetangga. Dan apa kau lupa dahulu, sepuluh tahun yang lalu ketika kau datang ke sini, aku yang melayani minum teh, kemudian kusiram mukamu dengan air teh panas sehingga mukamu berubah menjadi kuning? Lihat sampai sekarang pun masih berwarna kuning!” Kwan Bu menunjuk ke arah muka tosu itu yang memang agak kekuningan. Terdengar suara ketawa di sana sini. Para tamu yang tadinya merasa tegang menonton pertandingan kini merasa lucu, seolah-olah disuguhi tontonan selingan yang berupa dagelan (lawak). Muka Ya Keng Cu menjadi makin kuning dan matanya menyinarkan cahaya membunuh. Dahulu pun ia dimaki dan dihina bocah ini, sekarang bocah ini kembali menghinanya. Sementara itu, telinga mendengar percakapan bisik-bisik di sebelah belakang antara tiga orang muda itu.

“Dia berani bukan main!” kata Kwee Cin.

Posting Komentar