Tegur Sian Eng setengah menggoda.
"Ingin memberi hajaran lagi kalau mereka benar-benar jahat, biar kapok"
Jawab Lin Lin.
"Lin-moi, jangan sembrono kau. Apakah kau kira setelah melihat empat orang pengemis jahat tadi kau lalu menganggap bahwa semua pengemis jahat belaka? Yang tidak jahat patut dikasihani, seperti dia itu, bukankah patut dikasihani?"
Bu Sin menunjuk ke arah seorang pengemis tua yang duduk kedinginan di bawah pohon, yang berada di depan rumah penginapan.
Lin Lin dan Sian Eng memandang. Memang patut dikasihani pengemis tua ini. Ia duduk bersila melenggut bersandarkan tongkat bututnya, pakaiannya penuh tambalan, tubuhnya menggigil kedinginan, rambutnya riap-riapan seperti rambut orang gila. Kakek ini sudah tua sekeli, kedua matanya meram dan dari pinggir matanya keluar kotoran bertumpuk, bibirnya agak terbuka dan air liurnya bertetesan keluar. Menjijikkan, namun juga menimbulkan kasihan. Dasar Lin Lin berwatak aneh dan mudah sekali berubah. Gadis ini semenjak kecilnya memang sudah aneh. Mudah marah, mudah menangis, mudah tertawa.
Kalau marah hanya sebentar, kalau menangis pun hanya sebentar, dan sebagian besar waktunya tentu diisi dengan tawa dan berjenaka. Kini melihat keadaan kakek ini, tiba-tiba saja kemarahannya terhadap para pengemis tadi lenyap. Ia merogoh saku bajunya, mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke pangkuan kakek itu. Akan tetapi kakek pengemis itu masih saja tidur. Bu Sin dan Sian Eng terkejut, akan tetapi karena mereka sudah tahu akan watak Lin Lin yang memang aneh, mereka tidak berkata apa-apa, hanya di dalam hati mengeluh bahwa kalau Lin Lin bersikap seroyal ini terhadap semua pengemis, sebentar saja mereka akan kehabisan bekal di jalan. Masa memberi sedekah kepada seorang pengemis sampai sepotong uang perak? Namun, karena hal itu telah terjadi, mereka tidak mencegah dan ketiganya segera memasuki rumah penginapan, minta sewa dua buah kamar. Sebuah untuk Lin Lin dan Sian Eng, sebuah lagi untuk Bu Sin.
Karena merasa lelah, tiga orang muda itu tidak pergi keluar untuk makan, melainkan menyuruh seorang pelayan rumah penginapan memesan makanan. Selagi mereka makan, terdengar ribut-ribut di luar. Ketiganya keluar dan apa yang terjadi di luar? Ternyata pengemis tua itulah yang menimbulkan keributan. Tadinya orang-orang di dalam ruangan depan rumah penginapan itu, yakni para tamu yang kebetulan duduk di ruangan depan, mendengar suara orang berteriak-teriak marah. Seorang pelayan wanita membawa lampu keluar dari ruangan untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Kiranya pengemis tua itulah yang berteriak-teriak,
"Nyamuk keparat, Nyamuk gila"
Kakek pengemis itu masih duduk, akan tetapi sekarang tubuhnya yang masih duduk itu terpental-pental ke atas dalam keadaan masih bersila.
Debu mengebul di bawahnya ketika tubuhnya itu terbanting-banting, tangan kanannya mengusir nyamuk yang merubungnya, tangan kiri memegangi tongkat. Wanita pelayan itu kaget sekali. Siapa yang takkan menjadi kaget dan heran melihat orang duduk bersila dapat berloncatan seperti itu? Beberapa orang tamu berlari keluar dan sebentar saja banyak orang melihat kakek itu. Bu Sin dan dua orang adiknya juga bergegas keluar, meninggalkan meja makan. Mereka bengong dan terkejut. Itulah pertunjukan gin-kang yang hebat. Makin lama tubuh kakek itu meloncat makin tinggi seperti terbang, sedangkan keadaannya masih duduk bersila. Yang lebih hebat lagi, uang perak yang tadinya berada di pangkuan kakek itu sekarang berada di bawahnya, juga uang ini ikut berloncatan di bawah pantat si kakek gembel.
"Nyamuk keparat"
Kakek itu masih bersunggut-sunggut, tapi kata-kata sambungannya yang tak dimengerti orang lain itu mengejutkan Bu Sin dan adik-adiknya,
"Keparat, uang perak membatalkan niatku membunuh tiga ekor nyamuk"
Setelah berkata demikian, kakek itu melirik ke arah Bu Sin dan adik-adiknya. Sekarang tampak oleh mereka bahwa kakek itu matanya buta sebelah. Kakek itu bangkit berdiri, meludah sekali, lalu berjalan pergi, terbongkok-bongkok dibantu tongkatnya. Orang-orang tertawa.
"Kakek itu gila, rupanya.."
Akan tetapi Bu Sin dan adik-adiknya lebih mengerti. Sama sekali bukan kakek gila, melainkan seorang sakti yang luar biasa. Apalagi ketika mereka memandang lebih jelas, kiranya uang perak yang tadi masih ditinggalkan di situ dan uang itulah yang tadi diludahi si kakek. Ketika Bu Sin membungkuk untuk melihat lebih jelas, uang itu ternyata telah melesak dan melengkung oleh ludah. Pucat wajah Bu Sin.
"Celaka.."
Tentu yang dimaksudkan dengan tiga ekor nyamuk tadi adalah kita bertiga"
Tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengajak dua orang adiknya masuk ke dalam kamar, membereskan bekal pakaian dan malam itu juga ia mengajak adik-adiknya meninggalkan kota Wu-han.
"Eh, kenapa kau seperti orang ketakutan?"
Tanya Lin Lin.
"Lin-moi, karena perbuatanmu memberi sedekah tadi, nyawa kita sampai detik ini masih selamat,"
Jawab Bu Sin sambil mengajak dua orang adiknya berjalan cepat.
"Eh, apa maksudmu, Koko?"
Sian Eng kaget sekali, juga Lin Lin memandang kakaknya dengan mata terbelalak.
"Kalian ini bocah-bocah sembrono sekali. Tidak lihatkah tadi betapa kakek pengemis itu memperlihatkan ilmu gin-kang yang amat luar biasa? Dan uang perak itu, diludahi saja menjadi bengkok dan rusak. Tidak salah lagi, dia tentu seorang sakti dan melihat pakaiannya, agaknya dia seorang di antara pimpinan perkumpulan pengemis. Lupakah kalian akan kata-katanya tadi bahwa uang perak membatalkan niatnya membunuh tiga ekor nyamuk? Tentu yang ia maksudkan tiga ekor nyamuk adalah kita bertiga. Agaknya dia tadinya bermaksud membunuh kita bertiga, akan tetapi karena Lin Lin memberinya sepotong uang perak, ia membatalkan niatnya. Sungguh berbahaya"
Lin Lin membanting kaki.
"Kakek keparat"
Kita menaruh kasihan dan memberi sedekah, dia malah menghina, menyebut kita nyamuk dan memandang rendah sekali. Sin-ko, kenapa kau tadi tidak bilang kepadaku? Sedikitnya aku dapat mencoba kepandaiannya, sampai di mana sih tingginya maka dia begitu sombong"
"Lin-moi, jangan bicara sembarangan. Dia orang sakti"
Bentak Bu Sin.
"Aku tidak takut"
Lin Lin mengedikkan kepala membusungkan dada. Bu Sin hendak marah, akan tetapi segera ditekannya perasaanya. Ia tidak bisa marah kepada Lin Lin, pertama karena memang ia amat sayang kepada adik angkatnya ini, ke dua, karena ia merasa tidak enak kalau harus marah kepada adik angkat, khawatir kalau-kalau Lin Lin merasa dibedakan. Memang, biarpun masih muda, Bu Sin mempunyai watak yang baik sekali.
"Lin-moi, lain kali kau harus mentaati kata-kata Koko jangan banyak membantah. Kau membikin Sin-ko menjadi bingung dan marah saja"
Sian Eng menegur Lin Lin. Setelah ditegur, barulah Lin Lin insyaf. Sambil tertawa ia menyambar tangan Bu Sin.
"Sin-ko, apakah kau marah kepadaku? Apakah aku banyak rewel? Ampunkan saja aku, ya kakak yang baik?"
Mau tak mau Bu Sin tertawa juga.
"Kau memang nakal."
"Memang aku nakal, tapi tidak galak seperti Enci Sian Eng"
Lin Lin mengerling ke arah cicinya. Kini Sian Eng yang cemberut dan tangannya menyambar hendak mencubit lengan adiknya. Lin Lin meloncat, lari memutari tubuh Bu Sin dan menjerit-jerit,
"Sin-ko, tolong.. Enci galak mau bunuh aku.."
"Hushhh, gila kau, Lin-moi"
Masa bunuh, siapa yang bunuh? Memangnya kau ini seekor semut, gampang saja dibunuh."
Terpaksa Sian Eng menghentikan kejarannya. Tak berdaya ia terhadap adik yang nakal ini. Tanpa terasa karena di sepanjang jalan mereka bersendau-gurau, tiga orang muda ini sudah keluar dari kota Wu-han, melalui pintu kota sebelah timur. Malam telah larut dan keadaan amat gelap karena langit hanya diterangi bintang-bintang. Amat sukar melakukan perjalanan di malam gelap, apalagi kalau orang tidak mengenal jalan. Tiga orang muda itu selamanya belum pernah melewati jalan itu.
"Sin-ko, kita tidak tahu mana jurusan ke kota raja, dan aku amat lelah,"
Sian Eng mengomel.
"Sebaiknya kita menunda perjalanan malam ini dan melanjutkannya esok pagi-pagi."
"Kita sudah keluar dari Wu-han sekarang, boleh saja berhenti. Akan tetapi di mana harus beristirahat? Tidak ada sebuah rumah pun, sejak tadi tidak terlihat api rumah penduduk. Agaknya daerah ini jauh daripada dusun."
Kata Bu Sin.
"He, kalian lihat. Bukankah di sana itu rumah? Tapi gelap amat.."
Lin Lin tiba-tiba berkata. Mereka melihat dan benar saja. Di antara kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di langit itu tampak bayangan sebuah bangunan rumah di sebelah kiri. Seperti diberi komando ketiganya menghampiri rumah itu dan setelah mereka berada di pekarangan depan, kiranya itu adalah sebuah kelenteng yang sudah tua dan tidak terpakai lagi.
"Kita istirahat di sini melewatkan malam,"
Kata Bu Sin dengan hati lega. Biarpun hanya sebuah kelenteng tua dan rusak, namun cukup lumayan dan jauh lebih baik daripada bermalam di tengah jalan, di udara terbuka. Baru saja mereka membersihkan lantai yang berdebu dan duduk, tiba-tiba tampak sinar api dan di depan kelenteng tua itu telah berdiri belasan orang yang memegang obor. Tiga orang muda itu memandang dan terkejutlah mereka ketika melihat bahwa empat belas orang itu berpakaian seperti pengemis.
"Kalian mau apa?"
Bentak Lin Lin yang sudah meloncat berdiri bersama dua orang saudaranya. Seorang kakek pengemis bertubuh pendek gemuk, agaknya pemimpin rombongan itu karena dia seorang yang tidak memegang obor, tersenyum lebar dan berkata.
"Sam-wi sudah merobohkan empat orang anak buah kami, sekarang pangcu kami memanggil Sam-wi menghadap."
Bu Sin tidak heran menghadapi rombongan ini karena memang ia sudah mengkhawatirkan akibat daripada sepak terjang mereka di tepi sungai sore tadi. Ia seorang pemuda yang waspada dan hati-hati, akan tetapi mendengar ucapan yang amat memandang rendah itu, ia menjadi mendongkol juga. Biarpun pemimpin mereka seorang pangcu, akan tetapi hanya ketua pengemis saja, bagaimana berani memanggil mereka menghadap seperti sikap pembesar saja?