Pendeknya, seperti biasa, rakyat tidak mau memusingkan pikiran mengenai perang dan pertempuran. Kalau mereka itu tanpa dikehendaki terlanda perang, rakyat mawut seperti rombongan semut diusir, namun begitu mereka dapat menetap di suatu tempat dan perang telah lewat melalui atas kepala mereka yang terinjak-injak, rakyat kembali membiasakan diri dan hidup seperti biasa, tenang dan tenteram. Di kota ini banyak terdapat tentara pemerintah yang berkumpul di dalam markas dekat tembok benteng yang mengelilingi kota. Setiap hari tampak perwira-perwira pasukan berkeliaran di kota, namun rakyat yang sudah biasa dengan pemandangan ini menganggap biasa saja dan bekerja terus.
Karena ini, penghuni kota itu pun tidak merasa heran ketika dalam beberapa hari ini datang kereta-kereta yang terisi pembesar-pembesar militer dan sipil memasuki kota Sian-yang. Bahkan dikabarkan orang bahwa Koksu sendiri berkenan datang ke Sianyang untuk memeriksa keadaan dan memperkuat pertahanan, di samping beberapa orang jenderal yang memegang kedudukan penting. Biarpun kedatangan orang-orang besar itu tidak mengejutkan penduduk kota, namun seperti biasa, orang-orang suka melebih-lebihkan cerita mengenai jagoan-jagoan yang turut datang ke kota. Maka ramailah orang membicarakan kehebatan Koksu Negara yang dikabarkan memiliki ilmu kepandaian seperti dewa berkepala tiga berlengan enam! Masih ada lagi beberapa orang jagoan negara yang kabarnya juga berkumpul di kota itu, yang memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah manusia.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu memasuki kota dan lenyap dalam arus manusia di dalam kota. Mereka menyewa kamar di sebuah rumah penginapan dan ketika pada sore hari itu mereka makan di restoran, mereka mendengar percakapan antara pelayan restoran dan beberapa orang tamu. Dari percakapan inilah Siauw Bwee dan supeknya mendengar bahwa Koksu telah tiba di kota itu membawa jago-jagonya yang berkepandaian tinggi, di antaranya yang dipuji-puji oleh pelayan itu adalah sepasang setan dampit yang kabarnya belum pernah terkalahkan oleh siapapun juga! Dan mereka mendengar bahwa pada malam hari itu di dalam gedung kepala daerah akan diadakan pesta menyambut kedatangan Koksu dan para pembantunya. Setelah selesai makan dan kembali ke kamar masing-masing, Siauw Bwee berkata kepada Coa Leng Bu,
"Supek, amat sukarlah untuk mencari orang macam Ang Hok Ci itu di dalam kota sebesar ini di antara puluhan ribu orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah murid Koksu seperti yang diceritakan oleh Yu-twako, maka setelah Koksu sendiri kini datang, tentu mereka akan menghadap Koksu dan si manusia she Ang tentu akan menyerahkan kitab itu kepada gurunya, karena itu, kurasa sebaiknya kalau kita pergi menyelidiki ke gedung pertemuan itu. Kalau benar manusia she Ang itu berada di sana, aku akan menyergapnya!"
Coa Leng Bu mengerutkan alisnya.
"Lihiap, ilmu kepandaianmu amat tinggi dan aku percaya bahwa engkau akan kuat melawan siapapun juga. Akan tetapi, aku telah mendengar akan kelihaian Bu-koksu dan para pembantunya. Mereka adalah orang-orang selain berkedudukan tinggi, menguasai laksaan tentara, juga memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Karena itu, kita harus hati-hati sekali dan kuharap engkau suka menahan sabar, tidak melakukan tindakan sembrono. Kita mengintai dan mengikuti gerak-gerik Ang-siucai itu saja tanpa melibatkan diri dalam pertentangan melawan para pembesar pemerintah. Karena hal itu hanya akan mencelakakan diri saja."
"Baiklah, Supek. Memang tujuan kita ini hanya merampas kembali kitab dan membunuh manusia she Ang itu, bukan?"
Malam hari ini dengan pakaian ringkas dan membawa pedang yang digantung di punggung, Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu keluar dari rumah penginapan untuk pergi menyelidiki ke gedung kepala daerah yang menjadi temnpat pertemuan para pembesar pada malam hari itu. Seperti biasa, Coa Leng Bu yang berjiwa sederhana itu hanya mengenakan pakaian yang amat bersahaja, bahkan kedua kakinya tetap telanjang tak bersepatu! Dengan gerakan ringan dan lincah bagaikan dua ekor burung, mereka setelah tiba di dekat gedung itu meloncat ke atas genteng dan berindap-indap mendekati ruangan pertemuan yang terang benderang dan sekelilingnya terjaga oleh pasukan itu. Untung bahwa malam itu gelap sehingga Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dapat bergerak tanpa ada yang melihat mereka. Mereka merayap di atas genteng dengan hati-hati tanpa meninggalkan suara dan akhirnya tiba di atas ruangan itu, menggeser genteng dan mengintai ke bawah.
Siauw Bwee menyentuh lengan supeknya di dalam gelap ketika ia melihat bahwa orang yang mereka cari-cari, Si Sastrawan she Ang yang telah berhasil menimbulkan pemberontakan dan kekacauan di atas tebing dan lembah, kemudian berhasil merampas kitab pusaka peninggalan Bu-tek Lo-jin, ternyata berada di dalam ruangan itu, duduk berhadapan dengan seorang tinggi besar yang berpakaian panglima tinggi dan beberapa orang jenderal lain. Di ruangan itu terdapat belasan orang panglima dan pembesar setempat yang agaknya sedang merundingkan siasat-siasat pertahanan dan perang menghadapi musuh yang banyak. Di samping itu, mereka pun saling beramah tamah dan menyambut kedatangan Koksu dengan pesta yang meriah. Agak janggal memang kehadiran Ang-siucai di meja pembesar tinggi itu. Akan tetapi Siauw Bwee mengangguk maklum ketika supeknya berbisik,
"Di depannya itulah Bu-koksu...."
Ah, kiranya sastrawan licik itu telah bertemu dengan gurunya dan tentu kitab itu telah diserahkan kepada koksu itu! Menurut kata hatinya, ingin Siauw Bwee segera meloncat turun membekuk siucai itu dan memaksanya menyerahkan kembali kitab yang dicurinya.
Akan tetapi dia bukanlah seorang yang begitu bodoh dan lancang karena tanpa peringatan Coa Leng Bu yang pada saat itu menyentuh lengannva sekalipun, dia tidak akan sembrono melakukan hal itu. Siauw Bwee cukup maklum bahwa orang-orang di bawah itu tidak boleh dipandang ringan, apalagi mereka yang duduk di ujung ruangan, yang tak salah lagi tentulah rombongan jago-jago dari Koksu. Yang amat menarik hatinya adalah sepasang laki-laki dampit yang duduk bersanding. Sepasang manusia dampit ini benar-benar menyeramkan, dan mereka kelihatan saling membenci, saling bersungut dan pandang mata yang saling mereka tujukan satu kepada yang lain memandang nafsu membunuh!
Kalau apa yang ia dengar di restoran itu benar bahwa sepasang manusia dampit ini belum pernah terkalahkan, tentulah mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Karena inilah maka Siauw Bwee merasa gatal-gatal tangannya untuk mencoba sampai di mana gerangan kehebatan sepasang orang dampit yang tentu akan canggung gerakan mereka, saling merintangi itu. Manusia-manusia dampit itu tidak memakai pakaian militer, juga dua orang kakek yang duduk bersama mereka, akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar dan kelihatan seperti raksasa yang duduk dalam rombongan ini, mengenakan pakaian perang dari baja, membuat gerakan mereka tampak kaku dan berat. Tiba-tiba Koksu yang tadinya bercakap-cakap dengan Ang-siucai dengan wajah membayangkan kepuasan hati menoleh ke kanan dan berkata,
"Hemm, kau baru muncul? Benar-benar manusia malas!"
Siauw Bwee menoleh ke arah pembesar itu memandang dan hampir saja ia mengeluarkan jerit kalau tidak cepat-cepat tangan kirinya menutup mulutnya sendiri.
Ia membelalakkan mata, napasnya terengah dan setelah menggosok-gosok kedua mata dan berkejap-kejap beberapa kali, barulah ia merasa yakin bahwa orang yang yang tahu-tahu telah duduk di jendela dengan sikap sembarangan, lengan kiri menopang dagu dengan siku ditunjang paha kiri, kaki kanan menginjak lemari, duduk melamun seenaknya di lubang jendela, orang yang baru saja datang dan ditegur oleh Koksu, bukan lain adalah Kam Han Ki, suhengnya yang amat dirindukannya selama ini! Sejenak Siauw Bwee hampir tidak percaya akan pandang matanya dan menduga bahwa tentu ada orang lain yang mirip suhengnya, yaitu seorang di antara pengawal dan jagoan Koksu. Akan tetapi ia melihat sesuatu yang tidak wajar. Sikap orang ini benar-benar luar biasa.
Kalau menjadi pengawal Koksu, mengapa sikapnya begitu kurang ajar? Dan bukan hanya Koksu, bahkan semua orang yang menyaksikan sikapnya duduk di jendela seperti itu, seenaknya seolah-olah di situ tidak ada manusia lainnya, agaknya tidak mempedulikan orang ini! Ketidakwajaran yang cocok dengan ketidakwajaran kalau Kam Han Ki sekarang membantu Koksu Negara! Kam Han Ki suhengnya itu adalah seorang pelarian, seorang buruan, mana mungkin sekarang menjadi pengawal Koksu dan pembantu pemerintah yang telah membunuh kakaknya, Menteri Kam Liong, dan yang telah mengejar-ngejarnya dahulu? Tidak salah lagi, orang itu tentulah Kam Han Ki, dan sikapnya yang luar biasa itu menunjukkan bahwa biarpun orangnya Kam Han Ki, akan tetapi pikirannya bukan! Agaknya telah terjadi sesuatu yang menimpa diri suhengnya itu sehingga kehilangan ingatannya!
"Kam-taihiap! Duduklah di sini!"
Bu-koksu berkata dengan suara halus mempersilakan. Akan tetapi pemuda tampan yang duduk di jendela itu, acuh tak acuh menjawab,
"Bu-loheng, engkau dan teman-temanmu enak saja duduk di sini sedangkan di sana itu terdapat dua orang mengintai kalian!"
Mendengar ini, semua orang terkejut, akan tetapi Siauw Bwee dan Coa Leng Bu lebih kaget lagi.
"Lari....!"
Kata Coa Leng Bu yang merasa kaget bahwa pemuda aneh itu tahu akan kehadiran mereka.
Akan tetapi, ia menjadi lebih kaget lagi ketika Siauw Bwee bukan hanya tidak menuruti kata-katanya, bahkan dara perkasa itu kini meloncat ke depan, tepat di atas ruangan itu sambil berseru,
"Suheng....!"
Siauw Bwee menjadi gelisah sekali. Jelas bahwa orang itu adalah Kam Han Ki, dan Si Koksu menyebutnya juga Kam-taihiap, dan dia tidak heran kalau suhengnya yang lihai sekali itu dapat mengetahui kehadirannya bersama Coa Leng Bu, akan tetapi mengapa suhengnya tidak mengenalnya? Pemuda itu masih bertopang dagu, hanya miringkan mukanya dan mengomel,
"Siapa menyebutku suheng?"
"Suheng! Ini aku, Khu Siauw Bwee....!"
Siauw Bwee berseru lagi dan semua orang yang berada di ruangan itu terkejut sekali mendengar bahwa wanita yang suaranya terdengar di atas itu adalah adik seperguruan pemuda aneh yang mereka semua mengenalnya sebagai pengawal nomor satu dari Koksu!
"Tangkap pengacau itu!"
Tiba-tiba Bu-koksu berseru sambil menoleh kepada para pengawalnya, yang duduk di sudut ruangan. Seorang di antara dua pengawal tinggi besar seperti raksasa yang memakai pakaian perang meloncat bangun sambil mencabut goloknya, sebatang golok besar yang tajam mengkilap dan kelihatan berat sekali. Siauw Bwee yang menjadi makin gelisah melihat suhengnya masih duduk enak-enak dan sama sekali tidak memperhatikannya itu tak dapat menahan lagi hatinya. Dia meloncat turun dan berjungkir-balik, tubuhnya meluncur masuk ke ruangan itu melalui pintu belakang. Begitu kedua kakinya menyentuh lantai, pengawal raksasa itu sudah menerjang maju dan goloknya menyambar ke arah pinggang Siauw Bwee.
Dara perkasa ini menjadi marah sekali dan dia tidak ingat lagi akan bahaya. Dia merasa gelisah penasaran dan marah menyaksikan keadaan suhengnya, marah melihat Ang-siucai, dan kemarahannya memuncak ketika tiba-tiba saja ia disambut serangan. Bagaikan seekor burung terbang, tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga sambaran golok itu kalah cepat dan golok menyambar di sebelah bawah kakinya. Karena Siauw Bwee mempergunakan gerakan kilat, maka tubuhnya seolah-olah lenyap, demikian cepat gerakannya sehingga ketika pengawal raksasa itu luput menyerang dan cepat hendak membalikkan goloknya, tiba-tiba kaki Siauw Bwee yang berada di udara itu bergerak ke depan.
"Crot!"
Pengawal raksasa itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, tangan kirinya mengusap darah yang muncrat keluar dari hidungnya yang pecah dicium telapak sepatu Siauw Bwee. Dia menjadi marah sekali, lalu menerjang seperti seekor badak terluka, membabi-buta, goloknya yang besar dan berat itu lenyap menjadi segulung sinar yang menyilaukan mata.
Biarpun hatinya marah sekali bercampur gelisah, Siauw Bwee masih ingat bahwa dia berada di guha macan, bahkan keadaannya berbahaya sekali kalau sampai dia melakukan pembunuhan. Maka, mengingat bahwa seorang koksu yang suka menggunakan tenaga orang pandai tentu akan menghargai ilmu silat tinggi, dia mengambil keputusan untuk mengalahkan para jagoan koksu itu, kemudian atas nama kegagahan yang dihargai oleh dunia kang-ouw, minta kembali kitab Bu-tek Lo-jin secara baik dan selanjutnya berurusan dengan suhengnya dan kalau mungkin, membunuh Ang-siucai. Keputusan hati ini membuat dia tidak mau mencabut pedangnya, melainkan melawan pengawal raksasa itu dengan kecepatan gerakan tubuhnya.