Cu Taiya tidak mungkin takut pada ayahmu," katanya. "Padahal kau belum tahu seperti apa ilmu silat yang dimiliki ayahku," balas lawannya. "Sekarang ini memang aku tidak tahu," lanjutnya. "Tapi Cu Taiya pernah berbicara denganku sebelumnya, bahwa sebenarnya dia tidak takut pada siapapun," tambahnya. "Kalau memang dia tidak takut pada siapapun, dia tidak perlu menutup-nutupi kebenaran seperti ini," sergahnya.
Ketika tadi Thiatyan datang padanya untuk bertanya, melihat gelagatnya sepertinya dia tampak sangat gugup. "Itu mungkin ekspresi yang sudah dibuat-buat," katanya lagi. "Lagipula isi kopor kulit itu tidak mungkin hanya mutiara berharga saja. Rahasia ini tidak mungkin sesederhana itu," lanjutnya. "Tu toako, kau berkata seperti ini, apakah kau mempunyai bukti?" tanya lawannya. "Menilai dari kedudukan Leng Taiya, jabatan dan harta kekayaannya sangat berlimpah-limpah. Apalagi pada waktu itu dia masih berjaya. Dia tidak mungkin menganggap mutiara yang hanya bernilai sepuluh ribu mata uang orang luar negeri itu sebagai sesuatu yang sungguh berharga. Kalau dibandingkan dengan risiko bekerja sama dengan seorang pengembara dari dunia persilatan seperti Cu Siau-thian, apakah tindakannya sepadan?" "Benar juga! Ini masuk akal!" Wie Kie-hong menyetujui argumentasinya.
"Masalah ini sebaiknya kita lihat dari sudut pandang yang lain," katanya. "Katakanlah," sahut Wie Kie-hong. "Seharusnya kita menanyakan semua hal ini dari sisi Boh Tan-ping," usulnya. "Maksudmu adalah..." Wie Kie-hong menunggu penjelasan. "Kita harus mencari cara untuk memaksanya mengatakan hal yang sebenarnya," jawabnya tegas. Wie Kie-hong tentu mengerti arti yang terkandung di dalam kata 'memaksa' ini. Dia terdiam sangat lama, setelah itu dia bertanya, "Apakah kita memiliki kemampuan untuk melakukannya?" tanyanya ragu. "Kalau satu lawan satu, kita berdua pasti tidak mungkin bisa menang. Tapi kalau satu lawan dua, kita berdua masih mungkin lebih unggul melawannya," jawabnya yakin. "Kalau begitu apa kita ada kesempatan?" Wie Kie-hong bertanya lagi. "Seharusnya ada. Ayo kita pergi... kita coba buktikan sendiri," jawabnya mantap.
"Tu toako!" Wie Kie-hong berkata dengan sangat serius, "sebelumnya kau harus mempertimbangkan, apakah Boh Tan-ping tahu kejadian yang sesungguhnya?" "Seharusnya dia tahu," jawabnya singkat. "Ayo kita pergi. Setidaknya kita sudah mencoba," Wie Kie-hong menyetujui. Tu Liong segera menyuruh kusir kereta agar mengarahkan laju kereta ke gang San-poa. Di tengah perjalanan, kedua orang ini kembali merundingkan dengan lebih teliti tentang apa yang akan mereka lakukan nanti.
Kereta kuda berhenti tepat di depan gang San-poa. Kedua orang ini turun dari kereta, dan segera berjalan masuk ke dalam gang. Sepertinya karena mereka terlalu memikirkan tentang Boh Tan-ping, mereka segera melupakan tentang Bu Tiat-cui. Seharusnya dia juga orang yang memegang peranan penting. Tapi di balik pintu rumahnya yang tertutup rapat, Bu Tiat-cui diam-diam memperhatikan gerak-gerik kedua orang ini.
Tu Liong berjalan di depan, Wie Kie-hong membuntutinya dari belakang. Mereka berjalan sampai di depan kediaman Thiat-yan. Tu Liong mengetuk-ngetuk pintu. "Siapa?" Orang yang menjawab ketukan pintu adalah seorang pelayan yang sudah tua. "Kami datang kemari untuk menjumpai Thiat-yan," jawab Tu Liong. "Nona Thiat-yan tidak di tempat," balas pelayan itu. "Kalau begitu apakah kami berdua bisa menemui Boh Taiya?" Memanggil Boh Tan-ping sebagai Boh Taiya, sebenarnya rasanya sangat kelewatan. Hanya saja Tu Liong tidak tahu bagaimana cara memanggilnya dengan hormat. "Kalian ingin menemui Boh Taiya? Kalau begitu tolong tunggu di sini," kata pelayan itu.
Setelah beberapa lama, Boh Tan-ping keluar. Dengan dingin dia berkata, "Untuk apa kalian datang menemuiku? Apakah kalian ingin mencari gara-gara?" Tu Liong menunjukkan sikap bermusuhan. Setelah Boh Tan-ping keluar pintu, Tu Liong langsung mengulurkan tangannya untuk menyerang. Sekali menyerang dia sudah melancarkan jurus mematikan; kalau jurus ini mengena, kalau tidak mati pasti cacat. Boh Tan-ping sama sekali tidak menduga sekali bertemu dia harus langsung melawan mereka berdua. Ketika dia menyadari gelagat ini, selain menghindari serangan, sepertinya tidak ada cara lain untuk menyelamatkan diri. Dia menghindari serangan dengan sangat anggun, bagaikan kupu-kupu yang meloncat dari bunga ke bunga. Namun sekali lagi dia tidak menyangka kalau Wie Kie-hong sudah bersiap-siap untuk mencegatnya. Sebentar saja sebuah pisau kecil yang tajam sudah menempel di punggungnya.
Raut wajah Boh Tan-ping langsung berubah. "Boh Tan-ping!" Wie Kie-hong berkata dengan dingin, "Harap kau jawab dengan jujur." "Aku sudah cukup jujur dengan kalian!" jawabnya dengan tegas. "Kalau kau memang orang jujur, kau seharusnya berkata jujur," sergah Tu Liong yang berdiri di hadapan Boh Tan-ping. Mukanya tampak sangat garang. "Apa yang kalian ingin aku katakan?" tanya Boh Tan-ping. "Pada waktu itu Tiat Liong-san mendapat celaka, dia membawa sebuah kopor kulit berwarna kuning. Barang apa yang ada di dalam kopor itu?" tanya Tu Liong. "Aku tidak tahu," jawab Boh Tan-ping cepat. "Apakah kau sungguh tidak tahu?" Tu Liong tertawa dingin. Luka sayat pedang gigi gergaji belum sembuh benar, namun api balas dendam sudah berkobar dengan hebat di dalam hatinya: "Ataukah kau tahu tapi tidak mau mengatakannya?" tanyanya lagi. "Aku tidak tahu," Boh Tan-ping tetap mengatakan hal yang sama.
"Seharusnya kau tahu. Kau adalah adik dari Tiat Liong-san. Dia sudah mati, kau pun merawat putrinya sendirian. Semua hal yang berhubungan dengan Tiat Liong-san, kau pasti mengetahui semuanya dengan jelas," lanjut Tu Liong. "Walaupun aku tahu, aku tidak akan memberitahukannya," jawab Boh Tan-ping tegas. "Ternyata seperti ini...." Tu Liong mendadak berteriak dengan suara keras, "Wie Kie-hong! dengarlah dengan jelas! Aku sekarang ingin bertanya tiga buah pertanyaan pada Boh Taiya. Aku berharap dia bisa menjawab dengan baik. Kalau dia tidak menjawab pertanyaan yang kuajukan, kau tusukkan pisau kecilmu itu sepuluh sentimeter ke dalam. Kalau pisau itu menancap sampai tiga puluh sentimeter, seharusnya pisau itu sudah bisa mencapai jantungnya." "Tu toako! Aku pasti akan melakukan sesuai dengan apa yang kau suruh," jawab Wie Kie-hong. Kedua orang ini sudah berimprovisasi dengan baik. Sepertinya kompromi yang sudah dibahas di dalam kereta berjalan dengan mulus.
Sekarang raut muka Boh Tan-ping berubah lagi. Kekerasan hatinya pun berubah. "Kalian berdua tidak perlu berlaku seperti ini. Kalau ada masalah apakah tidak bisa dibicarakan secara baik-baik?" tanyanya. "Dari awal aku sudah berharap membicarakan tentang hal ini secara baik-baik denganmu. Selama ini kaulah yang tidak pernah bekerja sama! Sekarang aku akan mulai mengajukan pertanyaan pertama.... Ada seseorang yang bernama Wie Ceng. Sejauh pengetahuanmu, di mana dia berada sekarang?" tanya Tu Liong. "Dia berada di dalam kota," jawab Boh Tan-ping dengan sangat cepat. "Aku ingin mendengar jawaban yang lebih mendetail mengenai tempatnya," desak Tu Liong. "Kalau tentang itu aku juga tidak tahu secara pasti," jawab Boh Tan-ping. "Baiklah, pertanyaan pertama sudah kau jawab dengan baik.... Sekarang pertanyaan nomor dua.... ketika kita bertemu di gang sempit, kau sudah mengeluarkan pedang dan bertarung denganku. Siapa yang sudah menyuruhmu?" tanya Tu Liong lagi.
Boh Tan-ping tampak menimbang-nimbang sebelum menjawab pertanyaan. Tu Liong berteriak keras, "Tusuk dia!" "Tunggu!" Boh Tan-ping juga segera berteriak keras. "Kenapa? Apakah kau masih berpikir membelokkan jawabanmu?" tanya Tu Liong. "Apakah kalian akan mempercayai kata-kataku?" tanya Boh Tan-ping. "Benar tidaknya aku akan mempertimbangkannya," jawab Tu Liong. "Baiklah," sepertinya Boh Tan-ping sudah mengumpulkan semua keberaniannya. "Kau dengarlah dengan baik. Orang yang sudah menyuruhku untuk menyerangmu adalah Cu Siau-thian," ungkap Boh Tan-ping akhirnya.
Tu Liong merasa seperti seseorang sudah memukul kepalanya dengan benda yang sangat keras. Dia mundur beberapa langkah ke belakang. Dia terus memandang Boh Tan-ping. Wie Kie-hong juga merasa sangat terkejut. Saat ini, dia pun tidak berani bernapas terlalu keras. Boh Tan-ping melihat raut muka Tu Liong seperti ini, dia segera bertanya, "Tu Liong, kau tidak percaya padaku kan?" tanyanya. "Tuan Boh, sebenarnya aku masih memiliki pertanyaan berkenaan dengan kopor kulit yang kita bahas tadi," kata Tu Liong. Raut wajahnya sangat tidak enak dilihat. Namun kata-katanya masih terdengar sangat tenang. "Sekarang aku ingin tahu tentang sebuah hal yang lain. Karena itu aku terpaksa mengesampingkan pertanyaan yang berkaitan dengan kopor kulit.... Cu Taiya sudah menyuruhmu untuk turun tangan menyerangku, apakah dia menyuruhmu untuk langsung membunuhku, ataukah dia hanya ingin memberiku sebuah pelajaran yang tidak terlupakan?" tanyanya lagi. "Dia berharap untuk membuatmu berbaring di ranjang dan merawat luka setidaknya selama satu dua bulan, dan tidak bisa turun ranjang pergi ke mana-mana," jawab Boh Tan-ping.
"Baiklah, Tuan Boh, ketiga pertanyaan ini sudah kau jawab dengan baik. Hanya saja masalah yang berkaitan dengan Cu Taiya, kau harus mengatakan semuanya sekali lagi dihadapannya. Ayo kita pergi... kita selidiki kebenarannya," ajak Tu Liong. "Tu toako, apakah kita akan pergi seperti ini?" Pertanyaan ini membuat Tu Liong mengerutkan keningnya sampai kedua alisnya menempel. Boh Tan-ping adalah seorang manusia yang masih hidup. Walaupun sudah diikat dan ditarik pergi, ini hanya bisa dilakukan kalau dia bersedia untuk ikut pergi. Selain itu dia pasti akan mencari cara untuk memberontak dan melarikan diri. Orang seperti ini tidak bisa dianggap remeh.
"Tuan Boh," Tu Liong bertanya dengan dingin, "Apakah kau bersedia untuk membuktikan kata-katamu?" "Bagaimana kalau kita pergi ke sana?" Ternyata Boh Tan-ping pun menanyakan hal yang sama. "Apakah kau ingin pergi?" tanya Tu Liong. "Turunkan pisaumu, aku akan bersedia pergi dengan kalian," jawab Boh Tan-ping. "Kau sendiri yang mengatakannya." "Iya," jawabnya. "Baiklah. Wie Kie-hong, turunkan pisaumu," perintah Tu Liong. "Tu toako," kata Wie Kie-hong. Kata-kata Tu Liong tadi tidak hanya sebuah perintah, tapi adalah sebuah perintah yang harus dilaksanakan. Wie Kie-hong segera menyimpan pisaunya. Boh Tan-ping menghirup nafas dalam-dalam. Sekarang dia pasti sedang memikirkan sebuah masalah... Tu Liong jelas sekali tahu kalau dia adalah orang yang sangat berbahaya, mengapa dia mengambil resiko?"
Tu Liong membalikkan tubuh dan mulai berjalan pergi. Pada waktu yang sama dia berkata, "Harap Tuan Boh ikut dengan kami." Boh Tan-ping tampak menimbang-nimbang sesaat, setelah itu dia ikut pergi. Tu Liong berjalan paling depan, Boh Tan-ping berada di tengah. Wie Kie-hong mengekor di paling belakang. Kalau Boh Tan-ping bermaksud macam-macam, ini adalah kesempatan yang paling bagus. Sekarang masalahnya adalah apakah dia berani melakukannya. Pada saat ini dia tampak menaruh hormat pada Tu Liong. Mereka berjalan sampai ke mulut gang, lalu menghentikan sebuah kereta kuda, ketiga orang ini segera masuk ke dalamnya dan segera duduk.
**
Glossary of Terms:**
- **Cu Taiya**: A respectful title used for a master or a high-ranking individual in martial arts.
- **Thiatyan**: A character's name, possibly a martial artist or a person of significance in the story.
- **Tu toako**: A term of respect or endearment for an elder brother or a senior, used among martial artists.
- **Leng Taiya**: A respectful title used for another master or a high-ranking individual.
- **Cu Siau-thian**: A character's name, likely a martial artist or someone involved in the martial arts world.
- **Boh Tan-ping**: A character's name, involved in the plot's intrigue.
- **Tiat Liong-san**: A character's name, related to the plot, and possibly deceased.
- **Bu Tiat-cui**: A character's name, possibly an observer or someone with a hidden role in the events.